Di zaman yang serba modern
ini, segala kebutuhan semakin mudah dipenuhi. Asal punya uang, segalanya telah tersedia dan dapat
kita beli di warung tetangga hingga di toko modern.
Di warung-warung dan
pasar tradisonal, hampir semua kebutuhan tersedia, mulai dari sembako,
sayuran dan lauk hingga perkakas pertukangan. Begitu jua dengan toko modern,
segala jenis barang tersedia mulai bumbu dapur hingga alat tulis kantor.
Di antaranya
barang-barang yang diperjualkan, barang berbahan plastik paling membanjiri
warung, pasar dan toko modern. Kemasannya juga hampir semua mengandung bahan
dari plastik. Seperti tengah menjadi trend, plastik menjadi idola industri saat
ini.
Sebagai bahan pengemas,
plastik memang paling praktis, mudah diperoleh dan harganya tergolong murah.
Akibatnya, setiap hari
kita berbelanja plastik lalu melepaskannya begitu banyak ke tempat sampah. Bagi
mereka yang punya sedikit kepedulian, mungkin akan menyimpannya dan menggunakannya
berulang kali agar tidak menambah volume sampah plastik yang terbuang ke alam. Tapi
bagi mereka yang tidak peduli mungkin juga bodoh, setelah memakainya lalu
dengan mudah membuangnya di sembarang tempat.
Bahkan ada yang sengaja membuangnya
di pinggir jalan, pinggir perkampungan atau hutan. Mereka tidak mau rumah
mereka kotor dengan plastik, tapi memilih mengotori tempat yang lain. Semua perilaku
ini membuat mata tidak sedap lagi memandang jalanan dan kampung.
Kemudian sampah-sampah
plastik itu diterbangkan angin kemana-mana, tercecer berserakan. Plastik bekas
pembungkus makanan disukai unggas, kucing dan anjing. Ternak-ternak mencakar-cakar
bungkusan plastik untuk memperoleh sisa butir makanan di dalamnya.
Di musim hujan, sampah
plastik mengalir bersama air melewati selokan, mengalir bersama air sungai dan
tentu saja menuju ke laut. Sebagian menempel di ranting-ranting kayu atau
bambu, kawat beronjong atau mengendap bersama lumpur di dasar kali. Sampah plastik yang “pandai berenang”, terus
saja mengikuti arus sungai menuju ke
laut.
Plastik kemasan bening mirip
ubur-ubur, dimakan oleh berbagai spesies penyu. Sebagian penyu mati karena
memakan plastik, sebagian lagi enggan hidup di perairan kita karena limbah
plastik. Penyu bermigrasi ke tempat lain, lalu populasi ubur-ubur meningkat,
mereka menyantap plankton yang seharusnya menjadi makanan ikan-ikan.
Ikan-ikan menjauh dari
perairan kita karena tidak ada lagi plankton yang dimakan. Dan kini, laut kita menjadi
bak sampah terbesar tempat menampung plastik bekas. Laut menjadi kotor dan
tidak nyaman bagi ikan-ikan.
Sebagian plastik dibawa
ombak ke pinggir pantai, lalu kita menemukan pantai-lantai kita dipenuhi sampah
plastik, kotor dan tidak sedap dipandang.
Padahal kita menganggap
pariwisata adalah ekonomi masa depan, tapi perilaku kita terus saja mengotori
kampung, hutan, jalan, sungai, laut dan pantai dengan sampah plastik. Wisatawan
mana yang akan betah berwisata di lingkungan yang kotor dengan sampah plastik?