Gotong-Royong

<< Selamat atas Pelantikan Muhammad Rizal sebagai Direktur Perusahaan Daerah Kabupaten Sumbawa Barat 2020-2024>>

Jumat, 08 Oktober 2010

Alternatif Pengendalian Gulma Aquatik Lebo Taliwang


Tumbuhan merupakan bagian penting dari kualitas air, juga merupakan keanekaragaman ekosistem air. Tumbuhan air mempunyai peranan penting dalam memelihara integritas danau, kolam, dan sungai bagi ikan, satwa liar, organisme lain, dan kehidupan manusia (Getsinger, Kurt Et al, 2005). Secara spesifik, peranan tumbuhan air antara lain:
·         Sebagai habitat dan sumber makanan bagi ikan, ivertebrata, ampibi, dan burung air
·         Sebagai makanan untuk satwa liar dan mamalia
·         Sebagai medium tempat pemijahan telur berbagai jenis ikan, invertebrata, dan binatang ampibi
·         Memproduksi oksigen
·         Melindungi sempadan sungai,
·         Menstabilisasi temperatur, cahaya dan fungsi ekosystem
·         Mendaur ulang nutrien dan memperlambat pengangkutan sedimen.

Keseimbangan alami antara vegetasi dan organisme air lainnya akan terganggu ketika tumbuhan invasif dari  bagian dunia atau negeri lainnya masuk ke suatu danau, sungai, atau reservoir, dan menjadi gulma yang mengganggu. Gulma merupakan tumbuhan yang berkembang secara tidak terkendali dan merupakan gangguan bagi hewan atau tumbuhan lain. Gulma merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki keberadaannya di suatu wilayah. Pengelolaan gulma sering diperlukan untuk merestorasi keseimbangan ketika tumbuhan tersebut eksotis/invasif. Spesies tumbuhan gulma dapat meningkat secara dramatis dan menyaingi keanekaragaman vegetasi yang alami dan merubah habitat, aktivitas ikan dan satwa liar lainnya. Keberadaan vegetasi yang invasif bertentangan dengan aktivitas rekreasional seperti pemancingan, berperahu dan berenang; mengurangi nilai kepemilikan tanah, dan tidak cocok dengan kegiatan menikmati keindahan sumberdaya alam perairan. Meskipun vegetasi asli dapat berkembang pada level gangguan tertentu, dalam beberapa keadaan pengelolaan tetap menjadi tindakan yang diperlukan.
Berbagai spesies tumbuhan air selama ini telah menimbulkan masalah yang serius di berbagai negara. Dalam banyak kasus, permasalahan ini terjadi karena pertumbuhan spesies yang pesat dan ketiadaan predator memungkinkannya sebagai pemangsanya. Pertumbuhan populasi gulma yang  berlebihan ini dapat menyebabkan beberapa dampak (Getsinger, Kurt Et al, 2005), antara lain:
·         Memburuknya habitat ikan dan satwa lanilla;
·         Menghilangnya potensi habitat ikan, satwa lainnya serta spesies langka;
·         Memburuknya kondisi lahan basah dan kualitas air;
·         Menyusutnya nilai area permukaan air untuk aktivitas rekreasi seperti pemancingan dan berperahu;
·         Berkurangnya nilai kepemilikan tanah yang bersebelahan dengan habitat air yang memburuk;
·         Menghalangi pelayaran komersil;
·         Mengganjal pompa, pintu air, industri pertanian dan persediaan air untuk rumah tangga; dan
·         Mengurangi kapasitas reservoir.

Atas dasar semua  pertimbangan ini , pengendalian dan pengelolaan gulma air yang invasif sangat penting dilakukan. Berdasarkan berbagai pengalaman pemulihan kondisi perairan danau di berbagai negara. Ada 4 (empat) metode yang umum dipakai (Gibbons, et. al, 1994; Angelo, 1998; Getsinger, Kurt Et al, 2005; Peterson dan Lee, 2005), di antaranya:
1.      Secara biologis
2.      Secara fisik
3.      Secara mekanik
4.      Secara kimia

Keempat metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pemilihan metode yang paling tepat untuk menangani masalah gulma air tersebut disesuaikan dengan jenis gulma, kondisi (fisik, biologi dan kimia) perairan danau, tingkat permasalahan, dan kemampuan pendanaan yang tersedia. Berikut ini akan dipaparkan berbagai metode dan teknik yang pernah dikembangkan di beberapa negara dalam penanganan gulma secara terperinci.

Pengendalian secara biologis
Pengendalian secara biologis dilakukan oleh manusia, parasit, predator atau pathogen dalam lingkungan tertentu untuk menekan pertumbuhan beberapa jenis gulma  atau hama yang ditargetkan. Pengendalian secara biologis dapat dilakukan dengan mengurangi populasi gulma air yang invasif guna menurunkan tingkat populasinya yang disesuaikan dengan habitat ikan dan satwa lainnya atau disesuaikan dengan pemanfaatan badan air tersebut misalnya untuk keperluan rekreasi. Oleh karena itu, tujuan pengendalian secara biologis amat sesuai dengan pengelolaan gulma air terpadu,  yaitu bukan berwujud eradikasi atau eliminasi total atas area tertentu.
Pengendalian secara biologis merupakan suatu pendekatan jangka panjang untuk menekan pertumbuhan spesies tumbuhan yang berlebihan. Kelemahan penggunaan pengendalian secara biologis adalah hasilnya akan cukup efektif diperoleh setelah beberapa tahun. Metode penekanan jangka panjang seperti ini sangat baik diterapkan pada area dengan prioritas rendah, pada lokasi dimana penggunaan strategi pengendalian yang lain akan mengalami biaya yang sangat mahal atau dilakukan secara bersamaan dengan metode pengendalian yang lain yang dampaknya jangka pendek, misalnya digunakan secara bersamaan dengan metode mekanik atau dipadukan dengan pengendalian secara kimia (Getsinger, Kurt Et al, 2005).
Ada banyak organisme telah dipertimbangkan sebagai agen pengendalian secara biologi, di antaranya triploid steril ikan koan atau sering disebut amur putih (Ctenopharyngodon idella) untuk mengendalikan beberapa jenis ganggang. Pengendalian Salvinia sp. dengan menggunakan Cyrtobagous singularis. Demikian juga eceng gondok (Eichhornia crassipes) dapat dikendalikan secara biologis dengan kumbang penggerek Neochetina bruchi dan Neochetina eichhorniae. Sedangkan jamur atau fungi yang berpotensi dapat mengendalikan gulma secara biologis ialah Uredo eichhorniae untuk eceng gondok, Myrothesium roridum untuk kiambang, dan Cerospora sp. untuk apu-apu. Di samping pengendalian biologis juga dapat dilakukan terhadap berbagai species-species dengan penggunaan ternak.
Ikan koan  (Ctenopharyngodon idella)  sebagai agen pengendali gulma secara biologis   
(Sumber gambar: www.ecy.wa.gov)
Pengendalian secara fisik:
a. Pemungutan dengan tangan
Pemungutan gulma air dengan tangan serupa dengan kegiatan penyiangan gulma yang sering dilakukan di kebun atau di sawah yaitu memindahkan seluruh bagian tumbuhan (daun, batang, dan akar) dari danau dan membuangnya ke area lain yang jauh dari sempadan. Di dalam air yang dangkal (kurang dari 1 meter) mungkin tidak diperlukan peralatan khusus, walaupun sejenis sekop, garpu. Pisau atau sabit mungkin diperlukan jika sedimennya berat. Di dalam air lebih dalam, pemungutan dengan tangan paling baik dilengkapi dengan beberapa peralatan selam dan kantong jaring untuk mengumpulkan bagian-bagian potongan gulma. Untuk beberapa lokasi mungkin tidak cocok dengan menggunakan tangan seperti area yang sedimennya dalam karena dapat menyebabkan seseorang tertanam di dalam sedimen.
Pemungutan Gulma Air dengan Tangan
(Sumber gambar: www.ecy.wa.gov)

b. Pemangkasan
Memangkas berbeda dengan penyiangan gulma dengan tangan. Tidak semua bagian tumbuhan dapat dipindahkan, karena dengan pemangkasan hanya dilakukan terhadap batang dan daun tumbuhan saja, sedangkan akarnya tertinggal di dalam dasar danau atau sedimen.
Memangkas dapat dilakukan tanpa dengan harus masuk ke dalam air, cukup dilakukan di sempadan dengan melemparkan alat pemangkas ke dalam air. Alat pemangkas gulma non-mekanik dapat berupa dua bagian mata pisau tunggal dari bahan baja anti-karat yang tajam berbentuk "V" yang dihubungkan dengan satu tangkai yang diikat dengan tali yang panjang. Alat pemangkas tersebut dapat dibuang hingga 60-100 meter ke dalam air sesuai dengan panjang tali yang terpasang. Alat pemangkas dapat ditarik di dalam air dan memotong seluas 48 inch. Tumbuhan yang terpotong kemudian mengapung ke permukaan dan dapat segera dipindahkan ke darat.
Alat Pemangkas Gulma Air Berbentuk "V"
(Sumber gambar: www.ecy.wa.gov)

c. Menggaruk
Penggaruk yang kokoh menjadi alat yang berguna untuk pemindahan gulma air. Dengan memasang tali pada penggaruk dapat memindahkan gulma pada areal yang lebih luas. Menggaruk tumbuhan dari sedimen, mematahkan beberapa bagian tumbuhan air termasuk juga bagian akarnya. Penggaruk dilengkapi dengan pelampung agar bagian-bagian tumbuhan dapat lebih mudah dikumpulkan.
Kegiatan Pemungutan Gulma Air dengan Alat Penggaruk 
(Sumber gambar: www.ecy.wa.gov)
                                        
d. Layar Penutup Dasar Sedimen
Layar dasar atau penghalang bentik dapat digunakan menutupi sedimen sebagai selimut yang memampatkan tumbuhan air dan mengurangi/menghalangi cahaya matahari sampai ke dasar sedimen. Layar dasar dapat mengendalikan kebanyakan gulma air, namun demikian, untuk jenis gulma yang terapung bebas seperti ganggang Hydrilla tidak akan dapat dikendalikan oleh layar dasar.
Material seperti burlap, plastik, mylar hitam, dan tenun sintetis dapat digunakan sebagai layar dasar. Bahan yang ideal dijadikan sebagai layar dasar harus berasal dari bahan yang tahan lama dan massanya lebih berat dibanding air, dapat mengurangi atau menghalangi cahaya sehingga mampu mencegah tumbuhan berkembang, serta mudah dipasang dan dirawat.
Pemasangan Alas Dasar Penutup Sedimen
(Sumber gambar: www.ecy.wa.gov)

Agar layar dasar aman dan tidak terangkat ke permukaan atau melayang di perairan, sangat penting dipasangkan jangkar meskipun layer dasar tersebut berasal dari jenis bahan yang paling menyerap air. Jangkar yang terpasang harus mampu secara efektif memelihara layar dasar. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengontrolan secara teratur. Bahan alami seperti batu atau karung berisi pasir lebih baik dijadikan sebagai jangkar.

e. Pengurasan air
Ganggang kadang-kadang dapat secara efektif dikendalikan ketika badan air dikeringkan dengan pelepasan air melalui struktur pengendali level permukaan air (bendungan atau tanggul) atau dengan pemompaan. Efektivitas pengendalian ganggang ditentukan oleh beberapa faktor yang mencakup jumlah dalam badan air, jangka waktu pengeluaran, keberadaan mata air, dan cuaca pada saat pengurasan.
Keberhasilan pengurasan dalam mengendalikan ganggang sangat bervariasi dari danau ke danau dan dari tahun ke tahun di dalam badan air yang sama.

Pengendalian Secara Mekanis
Prosedur pengendalian secara mekanik telah digunakan secara luas dalam upaya pengendalian gulma air, terutama untuk jenis gulma yang eksotis dan invasif.
Beberapa perusahaan komersil telah mengembangkan peralatan tangan yang tanpa mesin maupun bermesin yang dirancang secara khusus untuk menghilangkan gulma air yang tenggelam (submersed weeds). Metode mekanis dan phisik dapat sukses, tetapi beberapa isu harus dipertimbangkan ketika menyusun perencanaan program pengendalian dengan peralatan tersebut.
Banyak gulma air yang tenggelam (submersed weeds) tersebar melalui fragmentasi. Sangat penting untuk diiingat bahwa memindahkan gulma air bisa jadi dapat meningkatkan erosi pada garis pantai danau, karena akar tanaman tidak tersedia untuk menstabilkan sedimen dan mendiamkan riak gelombang. Dalam beberapa situasi, untuk mencegah masalah ini, vegetasi asli harus diremajakan sebagai pengganti gulma yang dihilangkan. Hal ini akan membantu menstabilkan garis sempadan, dan dapat menghalangi pertumbuhan kembali berbagai jenis gulma eksotis.

a. Mesin Pemanen dan Pemotong
Mesin pemanen adalah mesin besar yang memotong dan mengumpulkan gulma air. Tumbuhan yang terpotong dipindahkan dari air oleh sistem konveyor dan menyimpannya  pada mesin pemanen sampai di tempat pembuangan. Sebuah tongkang disiapkan pada lokasi yang berdekatan dengan lokasi pemanenan sebagai tempat penyimpanan gulma sementara  atau disimpan dalam mesin pemanen gulma yang telah dipotong ke pantai. Peralatan stasiun pantai pada umumnya merupakan konveyor pantai yang dihubungkan dengan mesin pemanen dan mengangkat gulma yang telah dipotong ke tempat sampah. Gulma yang telah dipanen dibuang ke TPA (landfills), selanjutnya diolah dan digunakan sebagai pupuk kompos.
Mesin Pemanen dan Pemotong Gulma
(Sumber gambar: www.ecy.wa.gov)

b. Rotovasi
Rotovasi adalah pengendalian gulma secara massif dengan menggunakan mesin rotovator yaitu mesin bertungkai yang dilengkapi dengan tongkang yang menjulang sekitar 8-10 inci, lebih rendah dari kepala tungkai yang bisa masuk ke dalam sedimen yang biasa digunakan untuk memburu akar. Proses mekanis yang dihasilkan oleh tungkai dengan pisau yang tajam dapat memburu akar dari sedimen dan akar yang guncang secara masif akan mengapung ke permukaan air.
Rotovasi sering digunakan pada dua musim pengendalian secara penuh. Berbeda dengan mesin pemanen (hervester), rotovator tidak mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan gulma.
Rotovasi merupakan cara mekanis untuk menghilangkan gulma jenis ganggang untuk menyediakan areal perairan terbuka bagi kegiatan rekreasi dan navigasi. Badan air yang cocok untuk dilakukan rotovasi termasuk danau atau sungai yang luas dengan sebaran gulma yang cukup luas, baik digunakan untuk populasi ganggang air yang mana eradikasi tidak dapat dijadikan pilihan.
Sejak awal program rotovasi diterapkan menelan biaya yang sangat mahal, dilakukan pada populasi danau yang luas atau didorong oleh pemerintah daerah untuk membagi biaya-biaya yang krusial. Karena biaya yang dibutuhkan sangat mahal, dan membutuhkan berbagai perizinan, rotovasi tidak menjadi kegiatan pengendalian yang menyebar luas di Washington atau wilayah lain di Amerika.
Rotovasi tidak direkomendasikan dilakukan di badan air yang baru ditumbuhi ganggang karena dapat menciptakan fragmentasi dan meningkatkan sebaran ganggang di sepanjang badan air. Sebab rotovasi dan kekeruhan berdampak bagi keseluruhan badan air, haruslah dilakukan sesuai dengan rencana pengendalian gulma air secara terpadu.
Rotovator 
(Sumber gambar: www.ecy.wa.gov)

Faktor yang dipertimbangkan manakala mendisain penggunaan metode rotovasi meliputi:
·         Permukaan area badan air (lebar dan kedalamannya);
·         Luas areal yang ditumbuhi gulma;
·         Kontur dasar dan keliling dasar seperti tunggul, batu karang, dan bekas peninggalan lain;
·         Pola lalu lintas perairan,
·         Arah angin;
·         Lokasi peluncuran rotovator dan pemilihan lokasi;
·         Tipe sedimen;
·         Pengembangan sempadan; dan
·         Areal yang sensitif (habitat yang kritis).

c. Kapal Keruk dan Penyelam
Pengerukan oleh penyelam merupakan metode pengerukan dengan menggunakan peralatan selam berupa  pipa karet yang terkait dengan kapal keruk kecil untuk menghisap material tumbuhan dari sedimen. Tujuan pengerukan oleh penyelam adalah untuk memindahkan semua bagian tumbuhan termasuk akarnya dari dalam air ke tempat lain. Operator yang baik dapat memindahkan tumbuhan tertentu secara selektif dan akurat, seperti ganggang, sedangkan jenis tumbuhan asli tidak disentuh. Pengisapan material tumbuhan dan sedimen dengan pompa pipa karet ke permukaan yang kemudian disimpan ke dalam keranjang jaring.
Pemanduan Selang Pipa Kapal Keruk
oleh Penyelam (Sumber gambar: www.ecy.wa.gov)

Air dan sedimen dikembalikan lagi ke air dan material tumbuhannya disimpan atau dapat diolah menjadi pupuk kompos. Tumbuhan diletakkan di pantai. Penyelam Pengerukan akan lebih efektif  jika sedimen lebih lembut karena gampang dipindahkan secara keseluruhan tumbuhan, walaupun kekeruhan airnya meningkat pada sedimen lebih lembut. Pada sedimen lebih keras memerlukan penggunaan alat atau pisau untuk membantu membongkar perakaran dari sedimen. Di dalam sedimen yang sangat keras, tumbuhan ganggang cenderung patah dan meninggalkan akarnya sehingga seringkali tidak sesuai dengan tujuan pengerukan oleh penyelam.

d. Mesin Pemangkas
Mesin pemangkas gulma mampu memangkas tumbuhan air beberapa meter di bawah permukaan. Mesin ini berbeda dengan mesin pemanen, dengan menggunakan alat ini, tumbuhan yang dipangkas tidak dikumpulkan selagi mesin bekerja.
Ada 2 tipe pemangkas gulma bawah air komersial yang tersedia di pasar, yaitu:
·         Unit perahu portable pemangkas
·         Mesin pemangkas khusus bawah air

Kegiatan pemangkasan biasanya dilakukan selama musim panas selagi tumbuhan berada di dekat permukaan air.
Perahu portable yang dilengkap mesin pemangkas
(Sumber gambar: www.ecy.wa.gov)
Mesin Pemangkas khusus bawah air
(Sumber gambar: www.ecy.wa.gov)

Memangkas menghasilkan tumbuhan yang mengapung dan fragmen. Adalah penting untuk memindahkan semua bagian tumbuhan dan fragmen dari air untuk mencegahnya tumbuh kembali atau mengapung ke arah sempadan. Pembersihan dapat dilakukan dengan menggunakan alat penggaruk gulma. Karena itu, jaring khusus perlu dirancang untuk digunakan bila menggunakan mesin pemangkas bawah air ini. Waktu pembersihan gulma yang tepat amat tergantung pada kepadatan, jenis tumbuhan dan luasan area yang akan dipangkas. Ada beberapa keuntungan menggunakan mesin pemangkas ini, antara lain:
·         Dengan menggunakan mesin pemangkas dapat menciptakan area perairan terbuka secara cepat.
·         Mesin pemangkas dapat dipakai di dalam air yang tidak dapat dilakukan oleh mesin pemanen lain yang berukuran lebih besar.
·         Habitat ikan dan organisme lain dapat dipertahankan bila tumbuhan tidak dipangkas terlalu pendek.
·         Harga mesin pemangkas ini pada hakekatnya lebih murah dibandingkan dengan mesin pemanen.

Kerugian menggunakan mesin ini antara lain bahwa kegiatan memangkas mirip dengan kegiatan menyiangi tumbuhan dan akan memungkinkan tumbuhan tumbuh kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa kali pemangkasan sepanjang musim. Beberapa spesies tumbuhan air sukar dipangkas dengan mesin ini, selain itu, memangkas dengan mesin ini dapat menciptakan fragmen tumbuhan yang dapat menyebarkan tumbuhan invasif seperti ganggang. Fragmen ini kemudian mengapung ke sempadan danau dan mengalami dekomposasi.

Pengendalian Secara kimia
Penggunaan bahan-kimia yang dikenal sebagai herbisida dalam pengendalian spesies tumbuhan gulma hadir sebagai salah satu pilihan yang efektif dan telah digunakan secara luas. Pengendalian gulma air yang invasif dengan herbisida sering menjadi tahapan pertama jangka panjang dalam program pengendalian gulma secara terpadu. Dalam 15-20 tahun terakhir peninjauan kembali label registrasi herbisida dan penggunaannya di lapangan telah mengalami perubahan yang signifikan dalam rangka mengakomodasi keselamatan, kesehatan, dan kepedulian lingkungan (Getsinger, Kurt Et al, 2005).
Herbisida merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan tumbuh-tumbuhan yang menyebabkan kematian atau sangat menekan pertumbuhan. Campuran ini mengandung bahan aktif yang dipadukan ke dalam berbagai formula herbisida komersial. Herbisida merupakan komponen penting dalam rencana dan praktek pengelolaan gulma terpadu dan karena sangat efektif, terpercaya, selektif terhadap spesies tertentu, hemat biaya, dan mudah digunakan. Penerapannya dalam formula tertentu dengan berbagai peralatan, mulai dari penggunaan pesawat udara sampai dengan semprotan tangan (Lembi, 2003).
Namun demikian, penggunaannya dalam pengendalian gulma danau harus dilakukan dengan memperhitungkan segala kemungkinan terutama menyangkut bahaya dan efek negatif yang ditimbulkannya.
Penyemperotan Herbisida
untuk Membasmi Gulma Air (Sumber gambar: www.ecy.wa.gov)

Herbisida untuk tumbuhan air disemprotkan secara langsung ke bagian tumbuhan air (baik yang floating maupun emerged) atau  diaplikasikan ke air dalam bentuk cairan atau butiran (granular). Menurut cara kerjanya hebisida digolongkan ke dalam 2 kelompok yaitu sistemik dan kontak. Herbisida sistemik mampu membunuh seluruh bagian tumbuhan, sedangkan herbisida kontak hanya menyebabkan bagian-bagian tumbuhan yang terkena herbisida mengalami kematian sedangkan bagian lainnya bisa tumbuh kembali. Sedangkan menurut target jenis tanaman yang mampu dibasmi herbisida dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu herbisida non-selektif dan selektif. Herbisida non-selektif mempunyai spektrum pengaruh yang luas terhadap semua jenis tumbuhan yang terkontaminasi dengannya. Sedangkan herbisida selektif hanya akan berpengaruh terhadap beberapa jenis tumbuhan (biasanya dikotil berdaun lebar seperti ganggang Eurasian watermilfoil (Myriophyllum spicatum) akan efektif dengan herbisida selektif sedangkan monokotil seperti Brazilian elodea (Egeria densa) bisa jadi tidak efektif). Kebanyakan tumbuhan air merupakan jenis monokotil.
Pengetahuan penggunaan herbisida penting sebagai pegangan dalam menjaga keselamatan baik pengguna herbisida maupun lingkungan sekitarnya. Di samping itu pengetahuan yang baik tentang herbisida dapat meningkatkan efektifitas kerja. Ada beberapa hal penting yang akan diperhatikan di antaranya cara memilih, menyimpan, dan menggunakan herbisida.
Untuk memilih herbisida yang tepat kita perlu mengetahui jenis tanaman yang pasti, karena formulasi herbisida hanya efektif terhadap jenis tumbuhan tertentu. Pada kemasan herbisida terdapat label yang berisikan informasi jenis-jenis tumbuhan yang dapat dikendalikan cara menggunakan, dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh herbisida tersebut.
Pada setiap kemasan herbisida biasanya dicantumkan nama bahan aktifnya serta dosis yang digunakan untuk setiap liter campuran air. Untuk alasan keamanan, hanya herbisida yang telah terdaftar resmi yang penggunaannya direkomendasikan, karena herbisida tersebut telah diuji kemampuan dan telah diketahui bahaya yang ditimbulkan.
Ada beberapa jenis herbisida yang sering digunakan dalam memberantas gulm air di antaranya fluridone, 2,4-D, glyphosate, endothall dan senyawa tembaga.
Fluridone adalah suatu herbisida sistemik yang membunuh keseluruhan tumbuhan dan biasanya  tidak selektif sejak tumbuhan yang paling submersed akan dimatikan terpengaruh olehnya. Fluridone menghalangi pembentukan karoten (pigmen) di pertumbuhan tumbuhan. Jika karoten tidak ada, klorofil dikurangi oleh cahaya matahari. Sebab ini merupakan proses yang lambat dan tumbuhan dapat “timbul” jika fluridone dipindahkan, waktu kontak antara bahan kimia dan tumbuhan memerlukan waktu perawatan berminggu-minggu.
Fluridone cair telah digunakan secara luas dalam proyek pemberantasan ganggang danau. Formula baru dalam bentuk butiran granular juga  tersedia, dan kini sedang digunakan untuk  perlakuan danau secara utuh. Premis untuk menggunakan fluridone sebagai bahan pemberantasan ganggang adalah bahwa ganggang jarang menghasilkan benih yang sehat. Ini berarti bahwa menghentikan perkembangan tumbuh-tumbuhan dan mencegah penyebarannya melalui fragmentasi akan cukup efektif dalam memberantasnya. Ganggang sangat peka dengan fluridone dan secara teoritis mungkin memberantas 100 persen. Jika semua tumbuhan ganggang dibunuh dengan fluridone sebagai satu-satunya cara ganggang itu dapat tumbuh lagi di danau ada perkecambahan dari benih. Namun perkecambahan melalui benih jarang terjadi. 
Danau yang cocok diberatas dengan fluridone adalah danau yang ditumbuhi oleh ganggang yang sangat parah. Fluridone tidak cocok digunakan pada zona litoral atau pada area yang ditumbuhi ganggang secara berkelompok-kelompok kecil (lokasi kurang dari 5 are dalam badan air yang lebih besar) karena sulit untuk memastikan kecukupan waktu kontak antara tumbuhan dan herbisida yang akan dibasmi tersebut. Meskipun demikian, formula granular sedang mulai diujicoba efektifitasnya untuk area yang lebih kecil. Jika pembasmian ganggang dibatasi penggunaannya pada zona litoral, mungkin herbisida jenis 2,4-D atau triclopyr yang lebih efektif.
2,4-D merupakan bahan aktif herbisida yang bekerja relatif cepat dalam membasmi keseluruhan bagian tumbuhan (herbisida sistemik). Herbisida ini dianggap sebagai selektif untuk tumbuhan berdaun lebar jenis dikotil. Kabanyakan tumbuhan yang lain adalah monokotil (seperti rumput) dan tidak efektif dibasmi dengan 2,4-D.
Penggunaan fluridone telah sukses diterapkan dalam pengendalian ganggang di Danau Washington, namun tidak berarti dapat menjamin keberhasilan pengendalian ganggang dengan fluridone ini pada danau-danau yang lain. Masing-Masing lokasi mempunyai perbedaan karena banyak faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Penggunaan fluridone pada suatu lokasi danau tertentu perlu mempertimbangkan faktor lingkungan.
Fluridone merupakan herbisida yang  tidak selektif. Semua jenis tumbuhan mulai dari yang tumbuh di bagian paling dasar (submersed weeds) maupun yang mengapung (floating weeds) dapat dibasmi dengan aplikasi fluridone. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang diharapkan, fluridone harus diterapkan secara tepat dengan menggunakan tenaga ahli. Sebab cukup rumit menjaga kontak jangka panjang antara fluridone dan tumbuhan yang ditargetkan, merancang suatu rencana perlakuan dan konsentrasi pemantauan dari waktu ke waktu merupakan bagian penting pada masing-masing pengendalian gulma dengan fluridone.
Glyphosat merupakan herbisida sistemik yang berspektrum luas yang biasanya digunakan untuk mengendalikan tumbuhan yang berdaun mengapung seperti teratai. Biasanya diaplikasikan dengan air dan disemprotkan ke daun tanaman. Glyphosat tidak bekerja di bawah permukaan air sehingga tidak cocok untuk membasmi ganggang seperti ganggang Eurasian watermilfoil. Oleh sebab glyphosate merupakan herbisida spektrum luas dan non-selektif, maka penggunaannya perlu sangat hati-hati dan hasil yang baik tergantung pada pemakainya yang harus selektif mengarahkan semprotan hanya pada tumbuhan yang ditargetkan untuk dimusnahkan. Membutuhkan waktu berminggu-minggu bagi tanaman untuk mati sehingga pengulangan pengaplikasian perlu dilakukan sesering mungkin untuk membasmi tumbuhan yang luput dari penyemprotan pertama kali.
Endothall (bahan aktif) adalah herbisida kontak yang bisa bekerja secara cepat. Endothall mematikan bagian atas tanaman dan tidak mampu membasmi bagian akar yang tertanam dalam sedimen. Sampai saat ini endothall dipercaya dapat menghambat proses biokimia tanaman pada tingkatan sel.
Penggunaan endothall dengan tingkat rendah akan membasmi gulma eksotis seperti ganggang, dan membiarkan tumbuhan asli memulihkan diri. Penggunaan endothall bukanlah untuk eradikasi/pemberantasan, mungkin saja bermanfaat dalam pemeliharaan pada tingkat yang dapat diterima ganggang di dalam danau pada waktu tertentu di zona litoral dengan konsentrasi endothall yang rendah.
Berbagai metode dan teknik pengendalian gulma air yang telah dipaparkan dalam bagian ini mulai dari pengendalian secara biologi, fisik, mekanis dan kimia.
Dalam rangka pengendalian eutrofikasi gulma di perairan Lebo Taliwang, tentu saja masing-masing metode dan teknik tersebut memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Sehingga pemilihan dan penentuan metode dan teknik pengendalian harus disesuaikan dengan berbagai pertimbangan sebagaimana telah disampaikan terdahulu.
Penggunaan metode dan teknik kimia dalam pengendalian permasalahan eutrofikasi misalnya, tentu bukanlah satu-satunya pilihan yang dianjurkan. Ada pilihan-pilihan lain yang lebih aman dan semestinya lebih diutamakan, karena pengendalian secara kimia mempunyai dampak yang berspektrum luas. Tentu ini akan menjadi amat bertentangan dengan misi konservasi lingkungan, jika pengendalian secara kimia ini kemudian mengakibatkan kerusakan ekosistem biotik seperti hilangnya habitat berbagai fauna yang justru merupakan daya tarik yang dimiliki Lebo Taliwang.

Lebo Taliwang: Sebuah Tragedy of The Common

Lebo Taliwang mempunyai potensi yang sangat besar, baik potensi hayati maupun non-hayati. Namun hingga saat ini berbagai potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Ada banyak manfaat yang telah disumbangkan Lebo Taliwang bagi kehidupan masyarakat sekitarnya maupun bagi Kabupaten Sumbawa Barat pada umumnya. Namun dari sisi pengelolaan, Lebo Taliwang tampaknya tidak cukup mendulang perhatian yang sepadan sehingga dari tahun ke tahun terus mengalami degradasi.

Lebo Taliwang sebagai sumberdaya yang dapat diakses secara terbuka (open access resouces), sebagaimana dikatakan Garet Hardin (1968) mengalami The Tragedy of The Common. Banyak orang yang menuai manfaat dari keberadaan Lebo Taliwang, namun sebaliknya tidak banyak orang yang mau mempedulikan kelestariannya sehingga berujung pada terjadinya degradasi kualitas maupun kuantitasnya. Berikut ini berbagai isu dan permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan Lebo Taliwang.

Kelembagaan
Lebo Taliwang merupakan sumberdaya milik umum (common pool resources-CPRs) yang penting bagi masyarakat sekitarnya. Dalam banyak kasus, pengelolaan CPRs seperti danau ini seringkali mengalami masalah dalam keberlanjutannya karena setiap orang mempunyai minat untuk mengaskses manfaatnya secara terbuka, namun tidak banyak orang yang mempedulikan kelestariannya.
Pengelolaan kawasan Lebo Taliwang mengalami hambatan dalam hal kelembagaan sehingga melahirkan berbagai bentuk ketidak-sinkronan dan tidak terpadunya perencanaan, penyusunan program dan kegiatan, pemantauan dan evaluasi pembangunan yang dilakukan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan kesenjangan dan tumpang tindihnya peran antar-lembaga dalam pengelolaan sumber daya Lebo Taliwang. Koordinasi antar lembaga dan instansi merupakan syarat yang mendukung untuk dapat dilaksanakan strategi dan program aksi sampai mencapai sasaran atau target yang diinginkan.
Hingga saat ini, belum tersedia kelembagaan pengelolaan potensi Lebo Taliwang yang mapan dan mengakar di masyarakat. Sehingga diperlukan adanya penguatan keberadaan lembaga formal yang diintervensi melalui kebijakan pemerintah daerah maupun pada level yang lebih tinggi.
Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) harus lebih maksimal memainkan peran dan fungsinya dalam pengelolaan Lebo Taliwang. Begitu pula halnya dengan berbagai dinas dalam Pemerintah Daerah seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan serta Dinas Parawisata harus menjadi lembaga terdepan dalam menjaga pemanfaatan dan pelestarian ekosistem danau.
Peran Dinas Perikanan sebagai institusi yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan potensi perikanan perlu lebih optimal membangun inovasi untuk menjaga kelangsungan sumber daya perikanan Lebo Taliwang. Sementara Dinas Parawisata perlu menciptakan berbagai inovasi untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi ekowisata Lebo Taliwang yang sampai saat ini belum dikembangkan. Ke depan potensi wisata Lebo Taliwang dapat menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang strategis.
Kantor lingkungan hidup sebagai instansi pengelola lingkungan hidup harus mampu menjalankan fungsi koordinasi agar pengelolaan lingkungan yang dilakukan berdasarkan sektor terkait didasari oleh persepsi dan pendekatan yang sama, yakni pendekatan ekosistem dan bukan semata-mata pendekatan administratif.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam merencanakan pembangunan daerah perlu mensinergikan berbagai institusi pemerintah dan institusi masyarakat agar pengelolaan dan pemanfaatan Lebo Taliwang dapat berkembang secara maksimal.
Kelembagaan merupakan aktor atau penggerak utama dalam proses-proses pengelolaan sumberdaya danau. Harmonisasi dan konsistensi visi, strategi, dan tujuan-tujuan pembangunan antar-level dan lembaga pemerintahan sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaannya.
Kenyataan menunjukkan bahwa setiap lembaga umumnya mempunyai mandat, aturan, tujuan, dan kebijakan yang berbeda. Kurangnya koordinasi horizontal maupun vertikal, dimana setiap instansi masih membawa misi sendiri-sendiri menyebabkan tidak tersedianya pola pengelolaan Lebo Taliwang yang terintgrasi.
Perbedaan-perbedaan ini mengakibatkan upaya-upaya pengelolaan mengalami hambatan. Isu-isu kelembagaan yang umum dalam pengelolaan pesisir antara lain:
        Rendahnya kapasitas untuk melaksanakan pengelolaan terpadu;
        Kurangnya  penyuluhan/sosialisasi  tentang  peranan  dan manfaat danau kepada masyarakat yang tinggal di sekitarnya;
        Lemahnya   pengawasan   dan   penegakan   hukum yang  belum  optimal  dilaksanakan  terhadap   pihak-pihak  yang merusak fungsi dan manfaat strategis danau;
        Konflik dan tumpang tindih peraturan antarlembaga dan tingkatan pemerintahan;
        Kurangnya dukungan terhadap upaya-upaya pengelolaan dan perlindungan ekosistem danau;
        Pengelolaan tradisional yang kurang mendapat perhatian pemerintah sehingga sering bertentangan dengan undang-undang dan pengelolaan modern.

Dalam hal pengelolaan tradisional, perlu dipahami bahwa tidak semua praktik pengelolaan danau secara tradisional digolongkan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ada berbagai kegiatan pengelolaan secara tradisional yang sifatnya merusak (destruktif), seperti adanya sekelompok masyarakat yang menganggap bahwa penggunaan alat setrom untuk menangkap ikan, pembersihan gulma dengan menggunakan herbisida yang tidak selektif, penangkapan dengan menggunakan bubu adalah berbagai contoh cara penangkapan atau pengelolaan tradisional yang sifatnya destruktif bagi keberlanjutan kelestarian ekosistem Lebo Taliwang.
Semua pihak harus menyadari bahwa Pengelolaan Ekosistem Kawasan Lebo Taliwang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, karena itu upaya untuk menjamin, memelihara dan memulihkan integritas lingkungan hidup (fisik, biologis dan kimia) di kawasan Lebo Taliwang harus dilakukan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan peningkatkan kehidupan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan dapat tercipta dengan pemberdayan sumber daya manusia dan sumber daya alam secara simultan, kolaboratif dan terkordinasi.

Eutrofikasi
Kondisi ekosistem Lebo Taliwang tak lepas dari pengaruh kondisi sungai-sungai yang mengalir masuk (inlet) bagi Lebo Taliwang. Lebo Taliwang merupakan muara Sungai Seteluk dan Sungai Rempe. Selain itu, intensifikasi pertanian dan  rehabilitasi hutan di sekitarnya Lebo Taliwang diperkirakan menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan estetika Lebo Taliwang.
Inlet dan Outlet Lebo Taliwang

Sungai Seteluk dan Sungai Rempe yang menjadi kontributor utama dalam menyumbang limbah organik dan anorganik bagi Lebo Taliwang. Air Lebo Taliwang mengalir ke luar melalui Sungai Taliwang dan akhirnya bermuara di laut bagian barat Kabupaten Sumbawa Barat.
Kegiatan pemupukan di persawahan yang berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat setempat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan konsentrasi bahan organik yang masuk ke Lebo Taliwang dan telah mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan.
Eutrofikasi adalah proses pertumbuhan gulma air yang sangat cepat dibandingkan pertumbuhan yang normal. Proses ini juga sering disebut dengan blooming. Proses ini memang biasa terjadi pada tumbuhan yang habitatnya berada di perairan khususnya perairan air tawar seperti danau atau sungai.
Eutrofikasi Lebo Taliwang juga diakibat oleh masuknya residu pestisida hasil dari pemakaian pemberantasan hama yang tidak efektif di areal persawahan yang terbawa oleh aliran permukaan masuk ke danau. Pestisida digunakan oleh masyarakat untuk membasmi hama tanaman padi. Tentu saja residu pestisida lebih mengkuatirkan dibandingkan dengan residu yang mengalir dari Sungai Seteluk dan Sungai Rempe yang merupakan inlet Lebo Taliwang.
Alur Degradasi Ekosistem Lebo Taliwang

Peningkatan kegiatan pertanian yang berada di kawasan sepanjang tepi Lebo Taliwang ini, telah mengakibatkan tingginya residu pestisida dan meningkatnya konsentrasi fosfat akibat teraktivasi dan teroksidasinya pestisida organofosfat menjadi fosfat. Fosfat adalah salah satu unusr hara yang mempercepat terjadinya “blomming algae” di perairan Lebo Taliwang.
Demikian pula dengan pemanfaatan perairan Lebo Taliwang oleh masyarakat setempat sebagai lahan hunian (pemukiman) seperti rumah-rumah di tepi perairan Lebo Taliwang, memberikan kontribusi terhadap masukkan limbah domestik (tinja dan deterjen) bagi perairan Lebo Taliwang.
Kehadiran jaring apung yang dibantu oleh Pemerintah daerah ke depan akan memberikan kontribusi terhadap unsur hara akibat membusuknya sisa pakan yang menyebabkan konsentrasi fosfat, nitrat serta amoniak. Amoniak juga dihasilkan oleh ikan sendiri melalui kotoran dan urine ikan tersebut, akibatnya memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas air Lebo Taliwang.
Pada tahap awal, eutrofikasi memang hampir dapat dipastikan meningkatkan produksi ikan terutama di perairan mengalir. Akan tetapi, eutrofikasi mendatangkan akibat-akibat serius, di antaranya deplesi oksigen akibat respirasi bakteri dan tumbuhan. Kekurangan oksigen ternyata lebih sulit diatasi oleh ikan daripada perubahan suhu. Eutrofikasi, dengan demikian, dapat menyebabkan lenyapnya daerah pemijahan ikan yang biasa berpijah di perairan yang agak dalam, ledakan populasi alga (blooming algae), dan hancurnya kehidupan invertebrata bentik yang digunakan sebagai makanan.
Tumbuh-tumbuhan air dapat ditemui pada di hampir semua permukaan danau. Akar tumbuh-tumbuhan kemudian mengikat sedimen (lumpur) yang berada di dasar perairan danau, sehingga proses sedimentasi semakin cepat terjadi, akhirnya pendangkalan Lebo Taliwang semakin cepat pula terjadi. Implikasi dari proses tersebut menyebabkan luas cakupan badan air (water body) Lebo Taliwang semakin berkurang.
Akibat yang terjadi adalah semakin menyempitnya ruang habitat ikan untuk hidup. Gulma menutupi permukaan perairan, sehingga cahaya matahari berkurang dan jumlah oksigen yang masuk ke dalam perairan sedikit. Dengan kondisi seperti ini, maka diduga akan mengakibatkan kematian ikan di dalamnya yang menjadi sumber pendapatan masyarakat sekitar.
Pada Tahun 2000 awal, Pemerintah daerah (Kabupaten Sumbawa) dan nelayan tangkap telah berupaya mengendalikan pesatnya pertumbuhan populasi kiambang di Lebo Taliwang dengan menebar benih ikan koan (grass crap) dengan harapan ikan ini akan memakan akar dari kiambang. Ikan koan diharapkan dapat menjadi pengendali alami bagi populasi tanaman air tersebut.
Pemerintah saat itu juga mensosialisasikan kepada masyarakat nelayan, agar tidak menangkap ikan koan yang ditebar tersebut, apabila tertangkap diminta untuk dilepas kembali karena manfaatnya sangat besar untuk mengatasi kiambang di perairan tersebut.
Upaya pengendalian gulma air dengan ikan koan ini pun tidak memberikan dampak yang cukup signifikan, hanya mampu mengatasi sebagian kecil masalah gulma air di perairan danau yang luas. Bahkan, terakhir menurut informasi dari masyarakat, saat ini hampir tidak ditemukan lagi jenis ikan koan di perairan Lebo Taliwang.
Pada Tahun 2001 Pemerintah Kabupaten Sumbawa bekerjasama dengan Yayasan Sendiri pernah mencoba mengelolah gulma air menjadi pupuk organik. Namun hasilnya juga tidak cukup memuaskan dalam mengendalikan pertumbuhan dan persebaran gulma air Lebo Taliwang.
Pada Tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat membantu pendanaan bagi nelayan yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Konvensi Lebo (KNKL) dan telah berhasil membasmi 80 ha sebaran gulma dengan menggunakan herbisida. Cara penanganan gulma air secara kimia seperti penggunaan herbisida ini sebenarnya lebih praktis, akan tetapi bila penggunaannya tidak selektif, tentu akan sangat berbahaya bagi kelangsungan ekosistem danau. Pengendalian secara kimiawi tidak hanya akan mematikan pertumbuhan gulma tetapi juga akan membunuh semua organisme yang hidup dalam ekosistem perairan Lebo Taliwang.
Berbagai teknik dan pendekatan pengendalian gulma di perairan Lebo Taliwang tersebut seolah-olah tidak memberikan hasil yang cukup memuaskan harapan. Oleh karena itu diperlukan upaya dari pemerintah daerah untuk membersihkan gulma air tersebut dengan menerapkan berbagai alternatif yang selengkapnya akan dideskripsikan pada Bab V buku ini.
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya gangguan lebih lanjut terhadap ekosistem danau adalah upaya yang berkesinambungan dan melibatkan masyarakat. Masyarakat perlu dibiasakan melakukan penanganan limbah domistik sebelum dilepas ke alam. Pengolahan limbah rumah tangga ini perlu dilakukan sehingga dapat mengurangi konsentrasi senyawa-senyawa mineral yang terkandung di dalamnya. Tanpa adanya usaha ini, kelebihan kadar senyawa mineral di perairan akan menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi yang pada gilirannya dapat memacu pertumbuhan organisme tertentu secara tidak terkendali di lingkungan perairan danau.
Satu hal lagi, pemerintah daerah perlu melakukan pengorganisasian limbah atau sampah di lingkungan masyarakat agar masyarakat tidak lagi membuangnya ke sungai-sungai. Perilaku masyarakat yang sering membuang sampah atau limbah apapun jenisnya ke sungai-sungai perlu dihentikan karena pada akhirnya pasti akan sangat berpengaruh pada kualitas ekosistem Lebo Taliwang.
Jika berbagai aktivitas masyarakat sekitar Lebo Taliwang tidak dikendalikan, maka eutrofikasi yang terjadi di Lebo Taliwang akan semakin cepat berlangsung. Kondisi Lebo Taliwang akan segera berubah mencapai distrofik atau suksesi ekosistem.

Pendangkalan
Ancaman pendangkalan Lebo Taliwang, semakin serius dan nyata. Penyebabnya bisa jadi karena luasnya lahan kritis di lahan masyarakat maupun kawasan hutan perbukitan sekitar danau. Pada saat banjir setiap tahun, tanah, pasir, koral, dan batu dari lahan kritis dibawa air hujan masuk ke Sungai Seteluk atau Sungai Rempe yang selanjutnya mengalir ke Lebo Taliwang.
Faktor tata guna lahan, fisik (curah hujan) dan aktivitas masyarakat sekitar turut memberikan andil yang cukup besar bagi terjadinya pendangkalan Lebo Taliwang. Penggunaan lahan yang mengarah pada konversi pemanfaatan lahan perbukitan menjadi ladang atau hutan produksi di sekitar Lebo Taliwang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan sistem hidrologi.
Masyarakat pemilik lahan di perbukitan sekitar Lebo Taliwang menggantikan vegetasi alami dengan tanaman kayu monokultur seperti jati, mahoni dan lain-lain. Mereka membabat tegakan asli pada musim kemarau dan digantikan dengan tanaman kayu produksi sehingga pada saat musim hujan datang, pada daerah ini terjadi semakin besarnya aliran permukaan. Sedangkan proses infiltrasi semakin berkurang, sehingga berimplikasi terjadinya pengikisan tanah bagian atas (top soil) menuju ke daerah yang lebih rendah yaitu kawasan Lebo Taliwang. Tanah yang terbawa oleh air mengakumulasi membentuk sedimentasi.
Pola sedimentasi yang terjadi di areal Lebo Taliwang, di awali dari pinggiran sehingga lama-kelamaan menuju ke arah dalam danau. Proses ini menyebabkan danau mengalami pendangkalan. Proses pendangkalan semakin cepat terjadi ketika intensitas perubahan penggunaan lahan perbukitan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah tangkapan air (DTA) semakin tinggi.
Keberadaan lingkungan hutan sekitar yang lestari sebagai green-belt di sekeliling Lebo Taliwang penting menjadi prioritas kegiatan dalam konservasi. Dengan demikian dapat menjaga terjadinya erosi yang menyebabkan sedimentasi. Intensifikasi lahan sepanjang 50 meter di sekeliling perairan harus mendapat perhatian khusus karena selama ini pemanfaatan lahan tersebut oleh masyarakat setempat tidak sesuai dengan konsep konservasi lahan.
Menjadi tugas bersama pemerintah dan semua pihak untuk menyadarkan masyarakat agar menerapkan sistem budidaya pertanian yang tidak berpengaruh negatif terhadap keberlangsungan ekosistem Lebo Taliwang. Kegiatan penyuluhan maupun berbagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat baik melalui komunikasi tatap muka atau melalui media masa tampaknya menjadi pilihan yang strategis dalam melakukan penyadaran masyarakat.

Tata Ruang
Pada dasarnya penyelenggaraan penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sehingga terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan adanya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Mengingat strategisnya manfaat dan fungsi Lebo Taliwang secara ekonomi, ekologi dan sosial, maka perlu dilakukan penataan pemanfaatan ruang secara benar sehingga berbagai aspek pemanfaatan wilayah danau dapat dilakukan secara terintegrasi.
Fakta menunjukkan bahwa pembabatan di wilayah hutan, budidaya pertanian di tepian Lebo Taliwang yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia dan lain-lain kegiatan masyarakat sekitarnya telah menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem danau.
Perubahan penggunaan lahan seperti ini dalam pelaksanaan pembangunan memang terkadang tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan di sekitar Lebo Taliwang adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan yang mempengaruhi terhadap pola perubahan penggunaan lahan. Misalnya, program rehabilitasi hutan dan lahan yang diartikan oleh masyarakat sebagai kegiatan menanam hutan alami dengan tanaman kayu bernilai ekonomi tinggi khususnya tanaman jati yang perakarannya tidak cukup mampu menyerap air.
Selanjutnya desakan ekonomi mengakibatkan masyarakat harus melakukan ekstensifikasi pertanian pada lahan-lahan potensial yang selama ini didiamkan dari kegiatan produksi pertanian. Adanya peningkatan kebutuhan akan ruang tempat rekreasi juga akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan basah Lebo Taliwang menuju komersialisasi ekowisata.
Perubahan penggunan lahan merupakan pencerminan upaya masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Dampak suatu kegiatan pembangunan dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap vegetasi (flora dan fauna), dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada (Marganop, 2007).
Penggunaan atau pemanfaatan lahan di sekitar Lebo Taliwang pada dasarnya merupakan sesuatu yang baik, karena akan membantu masyarakat keluar dari permasalahan ekonomi. Namun demikian, penggunaan lahan di sekitar Lebo Taliwang harus selalu mempertimbangkan kesesuaian lahan dengan fungsinya sebagai pelindung ekosistem Lebo Taliwang.
Pemerintah perlu melakukan menetapkan pembagian blok pemanfaatan ruang kawasan Lebo Taliwang secara bijak sesuai dengan kebutuhan dan berbagai aspek regulasi yang ada.
Penataan ruang kiranya dapat menjadi faktor pengendali terhadap pemanfaatan ruang yang tidak ramah terhadap kelangsungan kelestarian ekosistem danau. Oleh karena itu, upaya memberikan kejelasan batasan pemanfataan ruang kawasan danau secara administratif maupun ekologi perlu dilakukan sedini mungkin. Dengan demikian, ketersediaan rencana detail kawasan dan rencana teknis pengelolaan dan pengembangan Lebo Taliwang mutlak dibutuhkan saat ini dan di masa yang akan datang.

Kepemilikan Lahan
Kejelasan status kepemilikan lahan di sekitar Lebo Taliwang sangat menentukan dalam upaya menjaga kelestarian ekosistem kawasan Lebo Taliwang. Sebagian besar lahan yang berada di sekitarnya telah dikuasai oleh masyarakat sekitar. Hal ini menyediakan problema tersendiri dalam upaya pelestarian ekosistem Lebo Taliwang. Masyarakat pemilik lahan melakukan budidaya pertanian yang dikehendakinya tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari pola pemanfaatannya. Berbagai aktifitas masyarakat dalam pemanfaatan lahan di sekitar Lebo Taliwang di bidang pertanian  berlangsung secara tidak ramah lingkungan sangat berbahaya bagi ekosistem danau. Karena itu, terdapat keterbatasan pemerintah dalam menentukan sistem pertanian yang paling cocok diterapkan dalam budidaya sehingga tidak mengganggu keberlangsungan ekosistem danau.
Adanya upaya pemerintah daerah untuk melakukan pengukuran dan pendataan kembali atas luas dan status kepemilikan lahan di kawasan Lebo Taliwang merupakan langkah yang positif dan tentu akan memberikan kepastian hukum. Pada akhirnya, adanya kepastian hukum atas tanah di sekitar Lebo Taliwang akan memberikan kejelasan dalam hal pemanfaatan ruang wilayah sekitarnya ke depan.
Terutama terhadap areal lahan yang merupakan tanah timbul karena proses sedimentasi (pendangkalan), perlu dilakukan pendataan yang cukup serius. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Lahan, (pasal 12) bahwa tanah yang berasal dari tanah timbul yaitu daratan yang terbentuk secara alami maupun buatan karena proses pengendapan di wilayah perairan sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul, serta penguasaan tanahnya dikuasai langsung oleh negara. Penegasan status kepemilikan lahan/tanah timbul ini sangat penting dilakukan guna menghindari terjadinya konflik perebutan lahan antar-masyarakat maupun antara masyarakat dengan pemerintah/negara.

Pemberdayaan Masyarakat
Pada prinsipnya berbagai masalah yang terjadi di perairan Lebo Taliwang merupakan dampak dari berbagai aktivitas manusia yang bermuara di danau atau disebut dengan gejala antropogenik. Karena itu, keberhasilan berbagai program konservasi sangat bergantung pada keberhasilan dalam merubah perilaku manusia menuju perilaku yang ramah lingkungan. Desakan ekonomi yang diakibatkan adanya pertumbuhan penduduk biasanya menjadi penyebab utama timbulnya perilaku masyarakat yang menyimpang dari norma dan mengganggu keberlangsung hidup suatu ekosistem.
Penanganan masalah perairan dengan demikian tidak bisa dipisahkan dari kegiatan memberdayakan masyarakat yang mempunyai kepentingan mengakses sumberdaya Lebo Taliwang. Penanganan berbagai masalah Lebo Taliwang termasuk eutrofikasi dan sedimentasi tentu tidak bisa disandarkan sebagai tugas pemerintah saja. Pendekatan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat akan lebih murah dan bermanfaat secara jangka panjang dalam penanganan masalah ini di Lebo Taliwang.
Pemberdayaan masyarakat sekitar Lebo Taliwang dan pemangku kepentingan lainnya perlu digalakkan guna meningkatkan peran mereka dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensinya secara lestari. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan mampu mengelola potensi Lebo Taliwang secara mandiri, berpartisipasi dalam pelestarian, dan aktif membangun jaringan kerja di antara mereka untuk menyelesaiakan berbagai permasalahan yang kemudian mereka hadapi.
Proses pemberdayaan harus ditekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan pengelolaan potensi danau kepada masyarakat. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi masyarakat setempat yang mereka bangun.
Memberdayakan masyarakat sekitar Lebo Taliwang adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang saat ini tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai cinta terhadap kelestarian ekosistem melalui berbagai penyebaran informasi yang penting bagi kelangsungan ekosistem Lebo Taliwang.
Masyarakat perlu tetap dijamin haknya untuk mengakses manfaat potensi perikanan dan potensi lainnya yang tersimpan di wilayah Lebo Taliwang, sembari tetap memberikan penyuluhan dan pendidikan lingkungan sehingga tidak terjadi konflik kepentingan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian ekologi.
Begitu banyak tersedia potensi Lebo Taliwang yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya tanpa harus melakukan aktivitas yang bermuatan destruktif. Pengembangan kawasan wisata misalnya, bila digalakkan akan memberikan dampak ekonomi yang berganda bagi masyarakat sekitarnya.
Penanganan gulma air secara mekanik juga merupakan aktivitas yang dapat memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat apabila diolah menjadi pupuk hijau yang bermanfaat bagi pengembangan pertanian organik di sekitarnya. Ini merupakan salah cara yang sangat ramah lingkungan dengan mengangkat gulma air tersebut dan memanfaatkannya untuk bahan baku pembuatan pupuk organik.
Pupuk yang dihasilkan selain dapat digunakan sendiri juga dapat dilepas ke pasar untuk memenuhi kebutuhan pupuk nabati bagi masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat dan sekitarnya. Kegiatan ini selain menghasilkan pendapatam, juga secara praktis dapat mengendalikan eutrofikasi yang terjadi di perairan Lebo Taliwang secara berkelanjutan.

Konservasi
Mengingat berbagai permasalahan yang ada di Lebo Taliwang yang sebagian besar berhubungan dengan keberlanjutan fungsi ekosistemnya, di mana pencemaran dan kerusakan berbagai aspek ekologi Lebo Taliwang pada akhirnya akan dapat mengurangi keanekaragaman hayati yang ada dan endemik di kawasan danau. Dalam kondisi yang demikian. maka isu konservasi menjadi sesuatu yang penting diperhatikan dalam pengelolaan Lebo Taliwang.
Konservasi yang diterapkan di sini mestinya merupakan upaya pengelolaan Lebo Taliwang oleh masyarakat untuk menghasilkan keuntungan ekonomi, ekologi dan sosial secara berkesinambungan bagi generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi-generasi yang akan datang.
Aspek positif konservasi Lebo Taliwang yang harus ditonjolkan adalah upaya perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, restorasi, dan penguatan ekosistemnya. Upaya konservasi yang dilakukan hendaknya tidak bertentangan dengan pemanfaatan aneka ragam varietas, jenis dan ekosistem untuk kepentingan masyarakat secara maksimal selama pemanfaatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan.
Konservasi Lebo Taliwang hendaknya tidak dipahami sebagai pelarangan secara total pemanfaatan berbagai potensi yang dikandungnya. Pemisahana masyarakat dari dari kegiatan pemanfaatan potensi danau ini justru akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan ekosistemnya karena pengabaian terhadap keadilan dan hak-hak masyarakat yang telah menempati ruang wilayah lebih lama di sekitar Lebo Taliwang tersebut seperti masyarakat Desa Meraran, Ai Suning, Rempe, Seloto dan Sampir.
Mereka yang telah menempati kawasan tersebut sebelum Lebo Taliwang ditetapkan secara resmi oleh pemerintah menjadi daerah konservasi. Masyarakat di 5 desa tersebut berinteraksi dalam waktu yang cukup lama secara turun-temurun dengan lingkungan Lebo Taliwang. Dengan berbagai pranata sosial dan kearifan yang diciptakannya, mereka telah mampu memanfaatkan lingkungan dan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan.
Penerapan konservasi yang hanya menekankan pada aspek perlindungan flora dan fauna, tanpa melibatkan aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan budaya penduduk sekitarnya, cepat atau lambat akan menemui kesulitan. Konservasi semacam itu juga tidak mungkin mencapai tujuan mulia konservasi alam, yaitu yang berwawasan lingkungan dan memberikan manfaat secara adil untuk segenap lapisan masyarakat.

Politik Pembangunan
Pembangunan kawasan Lebo Taliwang harus dijalankan sebagai upaya memaksimalkan pemanfaatan potensinya untuk meningkatkan pendapatan, kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat terutama mereka yang bermukim di sekitarnya.
Pembangunan kawasan Lebo Taliwang harus dapat menempatkan masyarakat manusia yang selama ini bermukim dan bergantung hidup secara turun-temurun terhadap Lebo Taliwang sebagai subyek sekaligus obyeknya (people centered development). Pembangunan ini harus dapat memberikan perubahan perilaku, perubahan kualitas standar kehidupan, maupun pilihan-pilihan ekonomis yang lebih beragam kepada masyarakat sehingga ke depan tidak sepenuhnya bergantung pada aktivitas penangkapan ikan danau. Pilihan-pilihan ekonomi ini pada akhirnya dapat memberikan alternatif bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk sosial. 
Paradigma pembangunan dengan people centerred development harus menjadi pilihan untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil.  Oleh karena itu, peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan pembangunan pada umumnya atau pemanfataan Lebo Taliwang khususnya perlu menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah dan lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengembangan masyarakat. Intinya adalah perlu adanya upaya memperkuat posisi masyarakat dalam pembangunan (empowerment) kawasan Lebo Taliwang. 
Konsep people centered development dalam pembangunan kawasan danau ini mengandung arti pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk secara bebas memilih berbagai alternatif sesuai dengan tingkat kesadaran, kemampuan, dan keinginan mereka, dan memberi kesempatan untuk belajar, baik dari keberhasilan maupun dari kegagalan terutama dalam hal memberi respon terhadap perubahan dengan tetap berpegang pada prinsif keberlanjutan (sustainability).
Tentu saja implikasi yang diharapkan dari penerapan pola ini adalah adanya perubahan perilaku dan peningkatan kemampuan (capacity), keadilan (equity), pemberdayaan (empowerment), dan ketahanan atau kemandirian (sustainability) masyarakat.
Akhirnya pembangunan kawasan Lebo Taliwang baik untuk kepentingan pertanian, perikanan, parawisata dan kehutanan harus menempatkan manusia dan lingkungannya sebagai isu sentral yang paling strategis.  Masyarakat sekitar Lebo Taliwang sebagai obyek pembangunan, harus dijadikan pula sebagai subyek yang aspirasi dan kebutuhannya seyogyanya diperhatikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah.