Gotong-Royong

<< Selamat atas Pelantikan Muhammad Rizal sebagai Direktur Perusahaan Daerah Kabupaten Sumbawa Barat 2020-2024>>

Jumat, 08 Oktober 2010

Lebo Taliwang: Sebuah Tragedy of The Common

Lebo Taliwang mempunyai potensi yang sangat besar, baik potensi hayati maupun non-hayati. Namun hingga saat ini berbagai potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Ada banyak manfaat yang telah disumbangkan Lebo Taliwang bagi kehidupan masyarakat sekitarnya maupun bagi Kabupaten Sumbawa Barat pada umumnya. Namun dari sisi pengelolaan, Lebo Taliwang tampaknya tidak cukup mendulang perhatian yang sepadan sehingga dari tahun ke tahun terus mengalami degradasi.

Lebo Taliwang sebagai sumberdaya yang dapat diakses secara terbuka (open access resouces), sebagaimana dikatakan Garet Hardin (1968) mengalami The Tragedy of The Common. Banyak orang yang menuai manfaat dari keberadaan Lebo Taliwang, namun sebaliknya tidak banyak orang yang mau mempedulikan kelestariannya sehingga berujung pada terjadinya degradasi kualitas maupun kuantitasnya. Berikut ini berbagai isu dan permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan Lebo Taliwang.

Kelembagaan
Lebo Taliwang merupakan sumberdaya milik umum (common pool resources-CPRs) yang penting bagi masyarakat sekitarnya. Dalam banyak kasus, pengelolaan CPRs seperti danau ini seringkali mengalami masalah dalam keberlanjutannya karena setiap orang mempunyai minat untuk mengaskses manfaatnya secara terbuka, namun tidak banyak orang yang mempedulikan kelestariannya.
Pengelolaan kawasan Lebo Taliwang mengalami hambatan dalam hal kelembagaan sehingga melahirkan berbagai bentuk ketidak-sinkronan dan tidak terpadunya perencanaan, penyusunan program dan kegiatan, pemantauan dan evaluasi pembangunan yang dilakukan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan kesenjangan dan tumpang tindihnya peran antar-lembaga dalam pengelolaan sumber daya Lebo Taliwang. Koordinasi antar lembaga dan instansi merupakan syarat yang mendukung untuk dapat dilaksanakan strategi dan program aksi sampai mencapai sasaran atau target yang diinginkan.
Hingga saat ini, belum tersedia kelembagaan pengelolaan potensi Lebo Taliwang yang mapan dan mengakar di masyarakat. Sehingga diperlukan adanya penguatan keberadaan lembaga formal yang diintervensi melalui kebijakan pemerintah daerah maupun pada level yang lebih tinggi.
Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) harus lebih maksimal memainkan peran dan fungsinya dalam pengelolaan Lebo Taliwang. Begitu pula halnya dengan berbagai dinas dalam Pemerintah Daerah seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan serta Dinas Parawisata harus menjadi lembaga terdepan dalam menjaga pemanfaatan dan pelestarian ekosistem danau.
Peran Dinas Perikanan sebagai institusi yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan potensi perikanan perlu lebih optimal membangun inovasi untuk menjaga kelangsungan sumber daya perikanan Lebo Taliwang. Sementara Dinas Parawisata perlu menciptakan berbagai inovasi untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi ekowisata Lebo Taliwang yang sampai saat ini belum dikembangkan. Ke depan potensi wisata Lebo Taliwang dapat menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang strategis.
Kantor lingkungan hidup sebagai instansi pengelola lingkungan hidup harus mampu menjalankan fungsi koordinasi agar pengelolaan lingkungan yang dilakukan berdasarkan sektor terkait didasari oleh persepsi dan pendekatan yang sama, yakni pendekatan ekosistem dan bukan semata-mata pendekatan administratif.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam merencanakan pembangunan daerah perlu mensinergikan berbagai institusi pemerintah dan institusi masyarakat agar pengelolaan dan pemanfaatan Lebo Taliwang dapat berkembang secara maksimal.
Kelembagaan merupakan aktor atau penggerak utama dalam proses-proses pengelolaan sumberdaya danau. Harmonisasi dan konsistensi visi, strategi, dan tujuan-tujuan pembangunan antar-level dan lembaga pemerintahan sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaannya.
Kenyataan menunjukkan bahwa setiap lembaga umumnya mempunyai mandat, aturan, tujuan, dan kebijakan yang berbeda. Kurangnya koordinasi horizontal maupun vertikal, dimana setiap instansi masih membawa misi sendiri-sendiri menyebabkan tidak tersedianya pola pengelolaan Lebo Taliwang yang terintgrasi.
Perbedaan-perbedaan ini mengakibatkan upaya-upaya pengelolaan mengalami hambatan. Isu-isu kelembagaan yang umum dalam pengelolaan pesisir antara lain:
        Rendahnya kapasitas untuk melaksanakan pengelolaan terpadu;
        Kurangnya  penyuluhan/sosialisasi  tentang  peranan  dan manfaat danau kepada masyarakat yang tinggal di sekitarnya;
        Lemahnya   pengawasan   dan   penegakan   hukum yang  belum  optimal  dilaksanakan  terhadap   pihak-pihak  yang merusak fungsi dan manfaat strategis danau;
        Konflik dan tumpang tindih peraturan antarlembaga dan tingkatan pemerintahan;
        Kurangnya dukungan terhadap upaya-upaya pengelolaan dan perlindungan ekosistem danau;
        Pengelolaan tradisional yang kurang mendapat perhatian pemerintah sehingga sering bertentangan dengan undang-undang dan pengelolaan modern.

Dalam hal pengelolaan tradisional, perlu dipahami bahwa tidak semua praktik pengelolaan danau secara tradisional digolongkan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ada berbagai kegiatan pengelolaan secara tradisional yang sifatnya merusak (destruktif), seperti adanya sekelompok masyarakat yang menganggap bahwa penggunaan alat setrom untuk menangkap ikan, pembersihan gulma dengan menggunakan herbisida yang tidak selektif, penangkapan dengan menggunakan bubu adalah berbagai contoh cara penangkapan atau pengelolaan tradisional yang sifatnya destruktif bagi keberlanjutan kelestarian ekosistem Lebo Taliwang.
Semua pihak harus menyadari bahwa Pengelolaan Ekosistem Kawasan Lebo Taliwang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, karena itu upaya untuk menjamin, memelihara dan memulihkan integritas lingkungan hidup (fisik, biologis dan kimia) di kawasan Lebo Taliwang harus dilakukan secara bersama-sama. Untuk mewujudkan peningkatkan kehidupan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan dapat tercipta dengan pemberdayan sumber daya manusia dan sumber daya alam secara simultan, kolaboratif dan terkordinasi.

Eutrofikasi
Kondisi ekosistem Lebo Taliwang tak lepas dari pengaruh kondisi sungai-sungai yang mengalir masuk (inlet) bagi Lebo Taliwang. Lebo Taliwang merupakan muara Sungai Seteluk dan Sungai Rempe. Selain itu, intensifikasi pertanian dan  rehabilitasi hutan di sekitarnya Lebo Taliwang diperkirakan menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan estetika Lebo Taliwang.
Inlet dan Outlet Lebo Taliwang

Sungai Seteluk dan Sungai Rempe yang menjadi kontributor utama dalam menyumbang limbah organik dan anorganik bagi Lebo Taliwang. Air Lebo Taliwang mengalir ke luar melalui Sungai Taliwang dan akhirnya bermuara di laut bagian barat Kabupaten Sumbawa Barat.
Kegiatan pemupukan di persawahan yang berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat setempat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan konsentrasi bahan organik yang masuk ke Lebo Taliwang dan telah mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan.
Eutrofikasi adalah proses pertumbuhan gulma air yang sangat cepat dibandingkan pertumbuhan yang normal. Proses ini juga sering disebut dengan blooming. Proses ini memang biasa terjadi pada tumbuhan yang habitatnya berada di perairan khususnya perairan air tawar seperti danau atau sungai.
Eutrofikasi Lebo Taliwang juga diakibat oleh masuknya residu pestisida hasil dari pemakaian pemberantasan hama yang tidak efektif di areal persawahan yang terbawa oleh aliran permukaan masuk ke danau. Pestisida digunakan oleh masyarakat untuk membasmi hama tanaman padi. Tentu saja residu pestisida lebih mengkuatirkan dibandingkan dengan residu yang mengalir dari Sungai Seteluk dan Sungai Rempe yang merupakan inlet Lebo Taliwang.
Alur Degradasi Ekosistem Lebo Taliwang

Peningkatan kegiatan pertanian yang berada di kawasan sepanjang tepi Lebo Taliwang ini, telah mengakibatkan tingginya residu pestisida dan meningkatnya konsentrasi fosfat akibat teraktivasi dan teroksidasinya pestisida organofosfat menjadi fosfat. Fosfat adalah salah satu unusr hara yang mempercepat terjadinya “blomming algae” di perairan Lebo Taliwang.
Demikian pula dengan pemanfaatan perairan Lebo Taliwang oleh masyarakat setempat sebagai lahan hunian (pemukiman) seperti rumah-rumah di tepi perairan Lebo Taliwang, memberikan kontribusi terhadap masukkan limbah domestik (tinja dan deterjen) bagi perairan Lebo Taliwang.
Kehadiran jaring apung yang dibantu oleh Pemerintah daerah ke depan akan memberikan kontribusi terhadap unsur hara akibat membusuknya sisa pakan yang menyebabkan konsentrasi fosfat, nitrat serta amoniak. Amoniak juga dihasilkan oleh ikan sendiri melalui kotoran dan urine ikan tersebut, akibatnya memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas air Lebo Taliwang.
Pada tahap awal, eutrofikasi memang hampir dapat dipastikan meningkatkan produksi ikan terutama di perairan mengalir. Akan tetapi, eutrofikasi mendatangkan akibat-akibat serius, di antaranya deplesi oksigen akibat respirasi bakteri dan tumbuhan. Kekurangan oksigen ternyata lebih sulit diatasi oleh ikan daripada perubahan suhu. Eutrofikasi, dengan demikian, dapat menyebabkan lenyapnya daerah pemijahan ikan yang biasa berpijah di perairan yang agak dalam, ledakan populasi alga (blooming algae), dan hancurnya kehidupan invertebrata bentik yang digunakan sebagai makanan.
Tumbuh-tumbuhan air dapat ditemui pada di hampir semua permukaan danau. Akar tumbuh-tumbuhan kemudian mengikat sedimen (lumpur) yang berada di dasar perairan danau, sehingga proses sedimentasi semakin cepat terjadi, akhirnya pendangkalan Lebo Taliwang semakin cepat pula terjadi. Implikasi dari proses tersebut menyebabkan luas cakupan badan air (water body) Lebo Taliwang semakin berkurang.
Akibat yang terjadi adalah semakin menyempitnya ruang habitat ikan untuk hidup. Gulma menutupi permukaan perairan, sehingga cahaya matahari berkurang dan jumlah oksigen yang masuk ke dalam perairan sedikit. Dengan kondisi seperti ini, maka diduga akan mengakibatkan kematian ikan di dalamnya yang menjadi sumber pendapatan masyarakat sekitar.
Pada Tahun 2000 awal, Pemerintah daerah (Kabupaten Sumbawa) dan nelayan tangkap telah berupaya mengendalikan pesatnya pertumbuhan populasi kiambang di Lebo Taliwang dengan menebar benih ikan koan (grass crap) dengan harapan ikan ini akan memakan akar dari kiambang. Ikan koan diharapkan dapat menjadi pengendali alami bagi populasi tanaman air tersebut.
Pemerintah saat itu juga mensosialisasikan kepada masyarakat nelayan, agar tidak menangkap ikan koan yang ditebar tersebut, apabila tertangkap diminta untuk dilepas kembali karena manfaatnya sangat besar untuk mengatasi kiambang di perairan tersebut.
Upaya pengendalian gulma air dengan ikan koan ini pun tidak memberikan dampak yang cukup signifikan, hanya mampu mengatasi sebagian kecil masalah gulma air di perairan danau yang luas. Bahkan, terakhir menurut informasi dari masyarakat, saat ini hampir tidak ditemukan lagi jenis ikan koan di perairan Lebo Taliwang.
Pada Tahun 2001 Pemerintah Kabupaten Sumbawa bekerjasama dengan Yayasan Sendiri pernah mencoba mengelolah gulma air menjadi pupuk organik. Namun hasilnya juga tidak cukup memuaskan dalam mengendalikan pertumbuhan dan persebaran gulma air Lebo Taliwang.
Pada Tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat membantu pendanaan bagi nelayan yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Konvensi Lebo (KNKL) dan telah berhasil membasmi 80 ha sebaran gulma dengan menggunakan herbisida. Cara penanganan gulma air secara kimia seperti penggunaan herbisida ini sebenarnya lebih praktis, akan tetapi bila penggunaannya tidak selektif, tentu akan sangat berbahaya bagi kelangsungan ekosistem danau. Pengendalian secara kimiawi tidak hanya akan mematikan pertumbuhan gulma tetapi juga akan membunuh semua organisme yang hidup dalam ekosistem perairan Lebo Taliwang.
Berbagai teknik dan pendekatan pengendalian gulma di perairan Lebo Taliwang tersebut seolah-olah tidak memberikan hasil yang cukup memuaskan harapan. Oleh karena itu diperlukan upaya dari pemerintah daerah untuk membersihkan gulma air tersebut dengan menerapkan berbagai alternatif yang selengkapnya akan dideskripsikan pada Bab V buku ini.
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya gangguan lebih lanjut terhadap ekosistem danau adalah upaya yang berkesinambungan dan melibatkan masyarakat. Masyarakat perlu dibiasakan melakukan penanganan limbah domistik sebelum dilepas ke alam. Pengolahan limbah rumah tangga ini perlu dilakukan sehingga dapat mengurangi konsentrasi senyawa-senyawa mineral yang terkandung di dalamnya. Tanpa adanya usaha ini, kelebihan kadar senyawa mineral di perairan akan menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi yang pada gilirannya dapat memacu pertumbuhan organisme tertentu secara tidak terkendali di lingkungan perairan danau.
Satu hal lagi, pemerintah daerah perlu melakukan pengorganisasian limbah atau sampah di lingkungan masyarakat agar masyarakat tidak lagi membuangnya ke sungai-sungai. Perilaku masyarakat yang sering membuang sampah atau limbah apapun jenisnya ke sungai-sungai perlu dihentikan karena pada akhirnya pasti akan sangat berpengaruh pada kualitas ekosistem Lebo Taliwang.
Jika berbagai aktivitas masyarakat sekitar Lebo Taliwang tidak dikendalikan, maka eutrofikasi yang terjadi di Lebo Taliwang akan semakin cepat berlangsung. Kondisi Lebo Taliwang akan segera berubah mencapai distrofik atau suksesi ekosistem.

Pendangkalan
Ancaman pendangkalan Lebo Taliwang, semakin serius dan nyata. Penyebabnya bisa jadi karena luasnya lahan kritis di lahan masyarakat maupun kawasan hutan perbukitan sekitar danau. Pada saat banjir setiap tahun, tanah, pasir, koral, dan batu dari lahan kritis dibawa air hujan masuk ke Sungai Seteluk atau Sungai Rempe yang selanjutnya mengalir ke Lebo Taliwang.
Faktor tata guna lahan, fisik (curah hujan) dan aktivitas masyarakat sekitar turut memberikan andil yang cukup besar bagi terjadinya pendangkalan Lebo Taliwang. Penggunaan lahan yang mengarah pada konversi pemanfaatan lahan perbukitan menjadi ladang atau hutan produksi di sekitar Lebo Taliwang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan sistem hidrologi.
Masyarakat pemilik lahan di perbukitan sekitar Lebo Taliwang menggantikan vegetasi alami dengan tanaman kayu monokultur seperti jati, mahoni dan lain-lain. Mereka membabat tegakan asli pada musim kemarau dan digantikan dengan tanaman kayu produksi sehingga pada saat musim hujan datang, pada daerah ini terjadi semakin besarnya aliran permukaan. Sedangkan proses infiltrasi semakin berkurang, sehingga berimplikasi terjadinya pengikisan tanah bagian atas (top soil) menuju ke daerah yang lebih rendah yaitu kawasan Lebo Taliwang. Tanah yang terbawa oleh air mengakumulasi membentuk sedimentasi.
Pola sedimentasi yang terjadi di areal Lebo Taliwang, di awali dari pinggiran sehingga lama-kelamaan menuju ke arah dalam danau. Proses ini menyebabkan danau mengalami pendangkalan. Proses pendangkalan semakin cepat terjadi ketika intensitas perubahan penggunaan lahan perbukitan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah tangkapan air (DTA) semakin tinggi.
Keberadaan lingkungan hutan sekitar yang lestari sebagai green-belt di sekeliling Lebo Taliwang penting menjadi prioritas kegiatan dalam konservasi. Dengan demikian dapat menjaga terjadinya erosi yang menyebabkan sedimentasi. Intensifikasi lahan sepanjang 50 meter di sekeliling perairan harus mendapat perhatian khusus karena selama ini pemanfaatan lahan tersebut oleh masyarakat setempat tidak sesuai dengan konsep konservasi lahan.
Menjadi tugas bersama pemerintah dan semua pihak untuk menyadarkan masyarakat agar menerapkan sistem budidaya pertanian yang tidak berpengaruh negatif terhadap keberlangsungan ekosistem Lebo Taliwang. Kegiatan penyuluhan maupun berbagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat baik melalui komunikasi tatap muka atau melalui media masa tampaknya menjadi pilihan yang strategis dalam melakukan penyadaran masyarakat.

Tata Ruang
Pada dasarnya penyelenggaraan penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sehingga terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan adanya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Mengingat strategisnya manfaat dan fungsi Lebo Taliwang secara ekonomi, ekologi dan sosial, maka perlu dilakukan penataan pemanfaatan ruang secara benar sehingga berbagai aspek pemanfaatan wilayah danau dapat dilakukan secara terintegrasi.
Fakta menunjukkan bahwa pembabatan di wilayah hutan, budidaya pertanian di tepian Lebo Taliwang yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia dan lain-lain kegiatan masyarakat sekitarnya telah menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem danau.
Perubahan penggunaan lahan seperti ini dalam pelaksanaan pembangunan memang terkadang tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan di sekitar Lebo Taliwang adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan yang mempengaruhi terhadap pola perubahan penggunaan lahan. Misalnya, program rehabilitasi hutan dan lahan yang diartikan oleh masyarakat sebagai kegiatan menanam hutan alami dengan tanaman kayu bernilai ekonomi tinggi khususnya tanaman jati yang perakarannya tidak cukup mampu menyerap air.
Selanjutnya desakan ekonomi mengakibatkan masyarakat harus melakukan ekstensifikasi pertanian pada lahan-lahan potensial yang selama ini didiamkan dari kegiatan produksi pertanian. Adanya peningkatan kebutuhan akan ruang tempat rekreasi juga akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan basah Lebo Taliwang menuju komersialisasi ekowisata.
Perubahan penggunan lahan merupakan pencerminan upaya masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Dampak suatu kegiatan pembangunan dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap vegetasi (flora dan fauna), dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada (Marganop, 2007).
Penggunaan atau pemanfaatan lahan di sekitar Lebo Taliwang pada dasarnya merupakan sesuatu yang baik, karena akan membantu masyarakat keluar dari permasalahan ekonomi. Namun demikian, penggunaan lahan di sekitar Lebo Taliwang harus selalu mempertimbangkan kesesuaian lahan dengan fungsinya sebagai pelindung ekosistem Lebo Taliwang.
Pemerintah perlu melakukan menetapkan pembagian blok pemanfaatan ruang kawasan Lebo Taliwang secara bijak sesuai dengan kebutuhan dan berbagai aspek regulasi yang ada.
Penataan ruang kiranya dapat menjadi faktor pengendali terhadap pemanfaatan ruang yang tidak ramah terhadap kelangsungan kelestarian ekosistem danau. Oleh karena itu, upaya memberikan kejelasan batasan pemanfataan ruang kawasan danau secara administratif maupun ekologi perlu dilakukan sedini mungkin. Dengan demikian, ketersediaan rencana detail kawasan dan rencana teknis pengelolaan dan pengembangan Lebo Taliwang mutlak dibutuhkan saat ini dan di masa yang akan datang.

Kepemilikan Lahan
Kejelasan status kepemilikan lahan di sekitar Lebo Taliwang sangat menentukan dalam upaya menjaga kelestarian ekosistem kawasan Lebo Taliwang. Sebagian besar lahan yang berada di sekitarnya telah dikuasai oleh masyarakat sekitar. Hal ini menyediakan problema tersendiri dalam upaya pelestarian ekosistem Lebo Taliwang. Masyarakat pemilik lahan melakukan budidaya pertanian yang dikehendakinya tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari pola pemanfaatannya. Berbagai aktifitas masyarakat dalam pemanfaatan lahan di sekitar Lebo Taliwang di bidang pertanian  berlangsung secara tidak ramah lingkungan sangat berbahaya bagi ekosistem danau. Karena itu, terdapat keterbatasan pemerintah dalam menentukan sistem pertanian yang paling cocok diterapkan dalam budidaya sehingga tidak mengganggu keberlangsungan ekosistem danau.
Adanya upaya pemerintah daerah untuk melakukan pengukuran dan pendataan kembali atas luas dan status kepemilikan lahan di kawasan Lebo Taliwang merupakan langkah yang positif dan tentu akan memberikan kepastian hukum. Pada akhirnya, adanya kepastian hukum atas tanah di sekitar Lebo Taliwang akan memberikan kejelasan dalam hal pemanfaatan ruang wilayah sekitarnya ke depan.
Terutama terhadap areal lahan yang merupakan tanah timbul karena proses sedimentasi (pendangkalan), perlu dilakukan pendataan yang cukup serius. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Lahan, (pasal 12) bahwa tanah yang berasal dari tanah timbul yaitu daratan yang terbentuk secara alami maupun buatan karena proses pengendapan di wilayah perairan sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul, serta penguasaan tanahnya dikuasai langsung oleh negara. Penegasan status kepemilikan lahan/tanah timbul ini sangat penting dilakukan guna menghindari terjadinya konflik perebutan lahan antar-masyarakat maupun antara masyarakat dengan pemerintah/negara.

Pemberdayaan Masyarakat
Pada prinsipnya berbagai masalah yang terjadi di perairan Lebo Taliwang merupakan dampak dari berbagai aktivitas manusia yang bermuara di danau atau disebut dengan gejala antropogenik. Karena itu, keberhasilan berbagai program konservasi sangat bergantung pada keberhasilan dalam merubah perilaku manusia menuju perilaku yang ramah lingkungan. Desakan ekonomi yang diakibatkan adanya pertumbuhan penduduk biasanya menjadi penyebab utama timbulnya perilaku masyarakat yang menyimpang dari norma dan mengganggu keberlangsung hidup suatu ekosistem.
Penanganan masalah perairan dengan demikian tidak bisa dipisahkan dari kegiatan memberdayakan masyarakat yang mempunyai kepentingan mengakses sumberdaya Lebo Taliwang. Penanganan berbagai masalah Lebo Taliwang termasuk eutrofikasi dan sedimentasi tentu tidak bisa disandarkan sebagai tugas pemerintah saja. Pendekatan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat akan lebih murah dan bermanfaat secara jangka panjang dalam penanganan masalah ini di Lebo Taliwang.
Pemberdayaan masyarakat sekitar Lebo Taliwang dan pemangku kepentingan lainnya perlu digalakkan guna meningkatkan peran mereka dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensinya secara lestari. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan mampu mengelola potensi Lebo Taliwang secara mandiri, berpartisipasi dalam pelestarian, dan aktif membangun jaringan kerja di antara mereka untuk menyelesaiakan berbagai permasalahan yang kemudian mereka hadapi.
Proses pemberdayaan harus ditekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan pengelolaan potensi danau kepada masyarakat. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi masyarakat setempat yang mereka bangun.
Memberdayakan masyarakat sekitar Lebo Taliwang adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang saat ini tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai cinta terhadap kelestarian ekosistem melalui berbagai penyebaran informasi yang penting bagi kelangsungan ekosistem Lebo Taliwang.
Masyarakat perlu tetap dijamin haknya untuk mengakses manfaat potensi perikanan dan potensi lainnya yang tersimpan di wilayah Lebo Taliwang, sembari tetap memberikan penyuluhan dan pendidikan lingkungan sehingga tidak terjadi konflik kepentingan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian ekologi.
Begitu banyak tersedia potensi Lebo Taliwang yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya tanpa harus melakukan aktivitas yang bermuatan destruktif. Pengembangan kawasan wisata misalnya, bila digalakkan akan memberikan dampak ekonomi yang berganda bagi masyarakat sekitarnya.
Penanganan gulma air secara mekanik juga merupakan aktivitas yang dapat memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat apabila diolah menjadi pupuk hijau yang bermanfaat bagi pengembangan pertanian organik di sekitarnya. Ini merupakan salah cara yang sangat ramah lingkungan dengan mengangkat gulma air tersebut dan memanfaatkannya untuk bahan baku pembuatan pupuk organik.
Pupuk yang dihasilkan selain dapat digunakan sendiri juga dapat dilepas ke pasar untuk memenuhi kebutuhan pupuk nabati bagi masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat dan sekitarnya. Kegiatan ini selain menghasilkan pendapatam, juga secara praktis dapat mengendalikan eutrofikasi yang terjadi di perairan Lebo Taliwang secara berkelanjutan.

Konservasi
Mengingat berbagai permasalahan yang ada di Lebo Taliwang yang sebagian besar berhubungan dengan keberlanjutan fungsi ekosistemnya, di mana pencemaran dan kerusakan berbagai aspek ekologi Lebo Taliwang pada akhirnya akan dapat mengurangi keanekaragaman hayati yang ada dan endemik di kawasan danau. Dalam kondisi yang demikian. maka isu konservasi menjadi sesuatu yang penting diperhatikan dalam pengelolaan Lebo Taliwang.
Konservasi yang diterapkan di sini mestinya merupakan upaya pengelolaan Lebo Taliwang oleh masyarakat untuk menghasilkan keuntungan ekonomi, ekologi dan sosial secara berkesinambungan bagi generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi-generasi yang akan datang.
Aspek positif konservasi Lebo Taliwang yang harus ditonjolkan adalah upaya perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, restorasi, dan penguatan ekosistemnya. Upaya konservasi yang dilakukan hendaknya tidak bertentangan dengan pemanfaatan aneka ragam varietas, jenis dan ekosistem untuk kepentingan masyarakat secara maksimal selama pemanfaatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan.
Konservasi Lebo Taliwang hendaknya tidak dipahami sebagai pelarangan secara total pemanfaatan berbagai potensi yang dikandungnya. Pemisahana masyarakat dari dari kegiatan pemanfaatan potensi danau ini justru akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan ekosistemnya karena pengabaian terhadap keadilan dan hak-hak masyarakat yang telah menempati ruang wilayah lebih lama di sekitar Lebo Taliwang tersebut seperti masyarakat Desa Meraran, Ai Suning, Rempe, Seloto dan Sampir.
Mereka yang telah menempati kawasan tersebut sebelum Lebo Taliwang ditetapkan secara resmi oleh pemerintah menjadi daerah konservasi. Masyarakat di 5 desa tersebut berinteraksi dalam waktu yang cukup lama secara turun-temurun dengan lingkungan Lebo Taliwang. Dengan berbagai pranata sosial dan kearifan yang diciptakannya, mereka telah mampu memanfaatkan lingkungan dan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan.
Penerapan konservasi yang hanya menekankan pada aspek perlindungan flora dan fauna, tanpa melibatkan aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan budaya penduduk sekitarnya, cepat atau lambat akan menemui kesulitan. Konservasi semacam itu juga tidak mungkin mencapai tujuan mulia konservasi alam, yaitu yang berwawasan lingkungan dan memberikan manfaat secara adil untuk segenap lapisan masyarakat.

Politik Pembangunan
Pembangunan kawasan Lebo Taliwang harus dijalankan sebagai upaya memaksimalkan pemanfaatan potensinya untuk meningkatkan pendapatan, kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat terutama mereka yang bermukim di sekitarnya.
Pembangunan kawasan Lebo Taliwang harus dapat menempatkan masyarakat manusia yang selama ini bermukim dan bergantung hidup secara turun-temurun terhadap Lebo Taliwang sebagai subyek sekaligus obyeknya (people centered development). Pembangunan ini harus dapat memberikan perubahan perilaku, perubahan kualitas standar kehidupan, maupun pilihan-pilihan ekonomis yang lebih beragam kepada masyarakat sehingga ke depan tidak sepenuhnya bergantung pada aktivitas penangkapan ikan danau. Pilihan-pilihan ekonomi ini pada akhirnya dapat memberikan alternatif bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk sosial. 
Paradigma pembangunan dengan people centerred development harus menjadi pilihan untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil.  Oleh karena itu, peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan pembangunan pada umumnya atau pemanfataan Lebo Taliwang khususnya perlu menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah dan lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengembangan masyarakat. Intinya adalah perlu adanya upaya memperkuat posisi masyarakat dalam pembangunan (empowerment) kawasan Lebo Taliwang. 
Konsep people centered development dalam pembangunan kawasan danau ini mengandung arti pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk secara bebas memilih berbagai alternatif sesuai dengan tingkat kesadaran, kemampuan, dan keinginan mereka, dan memberi kesempatan untuk belajar, baik dari keberhasilan maupun dari kegagalan terutama dalam hal memberi respon terhadap perubahan dengan tetap berpegang pada prinsif keberlanjutan (sustainability).
Tentu saja implikasi yang diharapkan dari penerapan pola ini adalah adanya perubahan perilaku dan peningkatan kemampuan (capacity), keadilan (equity), pemberdayaan (empowerment), dan ketahanan atau kemandirian (sustainability) masyarakat.
Akhirnya pembangunan kawasan Lebo Taliwang baik untuk kepentingan pertanian, perikanan, parawisata dan kehutanan harus menempatkan manusia dan lingkungannya sebagai isu sentral yang paling strategis.  Masyarakat sekitar Lebo Taliwang sebagai obyek pembangunan, harus dijadikan pula sebagai subyek yang aspirasi dan kebutuhannya seyogyanya diperhatikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar