Oleh: Muhammad Rizal
Ketua Lembaga RIPED
Pembuatan Minyak Obat
Tradisional sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Indonesia memiliki kekayaan warisan budaya sejalan
dengan pluralisme suku yang mendiami wilayahnya. Menurut data hasil sensus
Badan Pusat Statistik (2010) bahwa di Indonesia terdapat 1.331 kategori suku. Ribuan
suku tersebut mempunyai corak budaya masing-masing yang merupakan aset berharga
bagi Bangsa Indonesia. Agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang, warisan
budaya ini mesti terus dilestarikan secara berkesinambungan.
Bentuk warisan budaya tidak hanya sebatas monumen atau
kumpulan obyek semata, namun termasuk tradisi dan ekspresi hidup yang
diwariskan nenek moyang secara turun-temurun ke anak cucu, seperti tradisi
lisan, praktek sosial, ritual, pagelaran, pengetahuan dan praktek mengenai alam
dan semesta atau pengetahuan dan ketrampilan kerajinan yang merupakan warisan
budaya bukan benda (intangible cultural heritage).
Berdasarkan konvensi tahun 2003, UNESCO membagi
warisan budaya bukan benda ini dalam 5 domain yaitu: (1) ekspresi dan tradisi
lisan termasuk bahasa sebagai alat warisan budaya, (2) seni pertunjukkan, (3)
praktik sosial, ritual, dan acara festival, (4) Pengetahuan dan ketrampilan
mengenai alam dan semesta, dan (5) kerajinan tradisional. Namun warisan budaya
tidak sebatas satu manifestasi saja, namun bisa mencakup unsur-unsur yang ada
di setiap domain. Berbagai peralatan yang dipergunakan dalam kegiatan budaya
juga termasuk dalam warisan budaya.
Etnis Sumbawa atau sering disebut Suku Samawa
merupakan salah satu suku yang mendiami Pulau Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Suku Samawa mendiami 2 kabupaten di Pulau Sumbawa yaitu Kabupaten
Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat yang memiliki beragam warisan budaya yang
terus lestari hingga saat ini.
Salah satu warisan budaya yang terus berlangsung
adalah tradisi membuat minyak obat tradisional pada bulan muharram atau sering
disebut dengan bulan suro yaitu bulan pertama dalam penanggalan (Islam) atau
penanggalan hijriah.
Upaya
Melestarikan Tradisi
Bulan muharram diyakini oleh banyak orang sebagai
waktu yang baik untuk kegiatan-kegiatan mistis. Di Jawa, pada tanggal 1 suro
digunakan sebagai waktu yang tepat mengelilingi benteng keraton, memandikan
benda-benda pusaka, berendam di kali, mandi kembang, dan mengarak kerbau bule
merupakan beberapa ritual yang dilakukan dan dianggap membawa keberkahan.
Tradisi membuat minyak obat tradisional pada bulan
muharram ini telah berlangsung sejak lama secara turun-temurun. Hampir di
setiap desa, para ahli minyak yang disebut sanro atau tabib melakukan pembuatan minyak bersama-sama
warga sekitarnya.
Wakil Bupati Sumbawa Barat Fud Syaifuddin Memasak Minyak Jereweh dalam acara Festival Muharram di Desa Goa Kecamatan Jereweh pada 9 September 2019
Dalam rangka melestarikan dan menyemarakkan tradisi ini, pada setiap tahun di bulan ini, Pemerintah Kabupaten Sumbawa menggelar kegiatan yang disebut dengan Parade Melala, sedangkan di Kabupaten Sumbawa Barat diselenggarakan Festival Melala (sekarang disebut Festival Muharram) yang inti kegiatannya adalah membuat minyak obat tradisional dengan mengumpulkan para sanro atau tabib ahli minyak.
Khusus di Kabupaten
Sumbawa Barat, upaya melestarikan tradisi membuat minyak obat tradisional
melalui Festival Muharram ini telah digelar sejak tahun 2016 yang telah
ditetapkan berlangsung setiap tahun di Desa Goa Kecamatan Jereweh Kabupaten
Sumbawa Barat. Oleh karena itu, minyak obat tradisional di Kabupaten Sumbawa
Barat identik dengan nama Minyak Jereweh.
Minyak
Obat Tradisional
Minyak obat tradisonal yang dalam bahasa Sumbawa disebut minyak
mido/medo adalah minyak kelapa yang dimasak bersama dengan ramuan yang berasal
dari berbagai bagian tanaman atau rempah yang diyakini mengandung khasiat
tertentu untuk kesehatan manusia.
Minyak obat tradisonal
diyakini oleh masyarakat etnis Sumbawa sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai
penyakit. Tergantung pada bahan/ramuan yang digunakan, minyak Jereweh secara
tradisional diyakini dapat menyembuhkan keluhan-keluhan penyakit sebagai
berikut:
1)
Menambah vitalitas
laki-laki
2)
Menambah stamina
3)
Memudahkan
persalinan ibu hamil
4)
Menyuburkan
pasangan suami-istri
5)
Ibu baru bersalin
6)
Menyembuhkan luka
7)
Menyembuhkan luka
bakar
8)
Mempercepat
penyembuhan luka
9)
Penyembuhan koreng
10)
Sesak napas
11)
Rematik
12)
Salah urat (keseleo)
13)
Perut kembung
14)
Maag
15)
Sakit pinggang
16)
Patah tulang,
17)
Gigi sakit
18)
Sariawan
19)
Digigit serangga
20)
Pasca operasi
21)
Menyembuhkan
ambeien
22)
Gangguan
pencernaan/sakit perut
23)
Nyeri saat haid
dan lain sebagainya.
Selain
diyakini dapat menyembuhkan penyakit yang dapat dideteksi secara medis, minyak
Sumbawa juga diyakini dapat menyembuhkan penyakit yang bersifat non-medis
seperti sebagai penawar racun magis dan menolak sihir.
Kondisi
Bisnis Minyak Obat Tradisonal di Sumbawa Barat
Meskipun pembuatan minyak obat tradisional
ini telah berlangsung sejak lama dan semakin dipopulerkan melalui kegiatan
Festival Muharram yang memakan biaya yang tidak sedikit. Namun demikian, keberadaannya
belum memperlihatkan dampak ekonomi yang signifikan bagi pelaku usaha pembuat
minyak obat tradisional ini. Para sanro/tabib ahli pembuat minyak obat
tradisional belum mampu memproduksi minyak secara berkesinambungan dengan skala
usaha mikro, kecil dan menengah untuk kepentingan komersial.
Dalam
pantauan kami, saat ini hanya ada beberapa
sanro/tabib minyak obat tradisional yang mengembangkan usaha pembuatan
minyak untuk komersial di antaranya:
1)
Keluarga Tabib Syekh Abdullah
Bafadal dengan merek Warisan Leluhur dan Cap Akar
2)
Tabib Hamzah Al Khairid
dengan merek Minyak MUAS;
3)
H. Abdul Rasyid dengan
merek Minyak Tau Salaki;
4)
M. Wirahadi dengan
merek Payung Kobar;
5)
UD Saling Sakiki dengan
merek Minyak Sabongkang Sugan; dan
6)
Hairul Latief dengan
merek Tapal Kuda.
Sedangkan ahli minyak yang lain hanya melakukan
produksi dalam jumlah yang terbatas pada bulan muharram atau sesuai pesanan
yang ada.
Oleh karena itu, konsumen minyak obat tradisional pun
masih susah memperoleh minyak sewaktu-waktu karena produksinya masih sangat
terbatas dan pemasarannya belum secara luas di warung-warung, toko obat, apotek
dan lain sebagainya.
Terbatasanya produksi dan pemasaran minyak obat
tradisional ini terkait dengan berbagai kendala yang dialami seperti keterbatasan
modal usaha, kemampuan manajerial, dan kebijakan di bidang kefarmasian.
Para sanro/tabil sebagai pelaku usaha produksi minyak
obat tradisional, sebagaimana pelaku usaha mikro, kecil dan menengah lainnya,
selain keterbatasan modal usaha, mereka juga belum mempunyai kemampuan
sumberdaya manusia yang dapat diandalkan dalam perencanaan produksi, quality
control, pengemasan, pengembangan jaringan dan penetrasi pasar. Mereka juga
masih memiliki sarana dan prasarana produksi dan pemasaran yang terbatas.
Dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada, para pelaku
usaha produksi minyak obat tradisional tidak mampu mengikuti standar produksi
dan pemasaran yang berlaku dalam produk obat tradisonal yang ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Minyak Jereweh
sebagai Obat Tradisional
Dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian(galenik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Bimbingan Teknis tentang Cara Produksi Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dalam Pembuatan Minyak Obat Tradisional oleh BPOM di Rumah Kebun Taliwang pada 7 September 2019 |
Dalam Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.
00.05.4.2411 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan
Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan
tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu:
1) Jamu yaitu obat tradisional yang berdasarkan dari pengalaman secara turun temurun, yang
telah dibuktikan keamanannya dan khasiatnya dari generasi ke generasi. Untuk dapat
digolongkan sebagai jamu, obat tradisional harus memenuhi kriteria:
a) Aman
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;
b) Klaim
khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris;
dan
c)
Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Jenis klaim penggunaan jamu sesuai dengan jenis
pembuktian tradisional dan tingkat pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian umum
dan medium yang harus diawali dengan kata-kata: "Secara
tradisional digunakan untuk ...", atau sesuai dengan yang disetujui pada
pendaftaran.
2) Obat Herbal Terstandar yaitu obat tradisional yang lebih teruji
berkhasiat secara ilmiah/pra-klinis. Adapun jenis klaim penggunaan Obat Herbal Terstandar
sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.
3) Fitofarmaka yaitu obat tradisional yang telah teruji khasiatnya melalui uji
pra-klinis dan uji klinis. Adapun jenis klaim penggunaan fitofarmaka sesuai dengan
tingkat pembuktian medium dan tinggi.
Sesuai dengan kriteria cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan
dan tingkat pembuktian khasiatnya, berdasarkan pengelompokan
tersebut, minyak obat tradisional digolongkan sebagai jamu.
Izin Produksi dan Izin Edar Minyak Obat Tradisional
Dalam
ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan 6 Tahun 2012 tentang Industri dan
Usaha Obat Tradisional disebutkan bahwa obat tradisional hanya
dapat dibuat oleh industri dan usaha di bidang obat tradisional.
Industri di bidang obat tradisional terdiri dari:
a.
Industri Obat
Tradisional (IOT) yaitu industri yang membuat
semua bentuk sediaan obat tradisional.
IOT dapat melakukan
kegiatan proses pembuatan obat tradisional untuk semua tahapan dan/atau
sebagian tahapan. Adapun IOT yang melakukan kegiatan proses
pembuatan obat tradisional untuk sebagian tahapan harus mendapat persetujuan
dari Kepala Badan POM.
b.
Industri
Ekstrak Bahan Alam (IEBA) yaitu industri yang khusus membuat sediaan dalam bentuk ekstrak
sebagai produk akhir.
IOT dan IEBA hanya dapat
diselenggarakan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.
Adapun usaha di bidang obat
tradisional terdiri dari 4 jenis yaitu:
a.
Usaha Kecil Obat
Tradisional (UKOT) yaitu usaha yang membuat semua bentuk sediaan obat tradisional,
kecuali bentuk sediaan tablet dan efervesen.
UKOT hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha yang
memiliki izin usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.
Usaha Mikro Obat
Tradisional (UMOT) yaitu usaha yang hanya membuat sediaan obat
tradisional dalam bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan rajangan.
UMOT hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha perorangan
yang memiliki izin usaha sesuai ketentuan peraturan perundangundangan).
c.
Usaha Jamu Racikan
yaitu usaha
yang dilakukan oleh depot jamu atau sejenisnya yang dimiliki perorangan dengan
melakukan pencampuran sediaan jadi dan/atau sediaan segar obat tradisional
untuk dijajakan langsung kepada konsumen.
d.
Usaha Jamu Gendong
yaitu usaha
yang dilakukan oleh perorangan dengan menggunakan bahan obat tradisional dalam
bentuk cairan yang dibuat segar dengan tujuan untuk dijajakan langsung kepada
konsumen.
Peraturan
Menteri Kesehatan tersebut juga mengatur bahwa setiap industri dan usaha di bidang obat
tradisional wajib memiliki izin dari Menteri. Dikecualikan dari ketentuan tersebut untuk usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan. Selain wajib
memiliki izin, industri dan usaha obat tradisional wajib memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
Dalam
pemberian izin, Menteri Kesehatan mendelegasikan kewenangan pemberian izin untuk :
a.
IOT dan IEBA kepada Direktur Jenderal;
b.
UKOT kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi;
dan
c.
UMOT kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
Kendala Pengembangan Produksi dan Pemasaran UMOT
Berdasarkan
kondisi para pelaku usaha produksi minyak obat tradisional yang ada, mengingat
status usaha dilakukan oleh perorangan (usaha dagang), maka mereka hanya mampu
memenuhi kriteria izin usaha mikro obat tradisional (UMOT) yang hanya dibolehkan membuat sediaan obat tradisional dalam bentuk param, tapel,
pilis, cairan obat luar dan rajangan. Pengurusan izin
produksinya cukup dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Terkait
dengan izin edar, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 Tahun 2012
tentang Registrasi Obat Tradisional, untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia, minyak obat tradisional wajib memiliki izin edar yang diterbitkan oleh Kepala BPOM.
Adapun pemberian
izin edar dilaksanakan melalui mekanisme registrasi sesuai dengan tatalaksana yang ditetapkan dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan
keamanan dan mutu;
b.
dibuat dengan menerapkan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB);
c.
memenuhi persyaratan Farmakope Herbal
Indonesia atau persyaratan lain yang diakui;
d.
berkhasiat yang dibuktikan secara empiris,
turun temurun, dan/atau secara ilmiah; dan
e.
penandaan berisi informasi yang objektif,
lengkap, dan tidak menyesatkan.
Menurut penjelasan yang disampaikan Abdillah Wibisono dari
BPOM Provinsi Nusa Tenggara Barat tentang Prosedur Izin Produksi Minyak Sumbawa
dalam kegiatan Pelayanan Prima dan Bimbingan Teknis Cara Produksi Obat
Tradisional yang Baik yang diselenggarakan di Rumah Kebun Taliwang pada 7
September 2019, Badan Pengawas Obat dan Makanan menjelaskan bahwa minyak obat
tradisional Sumbawa digolongkan sebagai obat tradisional (Wibisono, 2019).
Oleh karena itu, sebagai bagian dari obat tradisional,
pembuatan minyak obat tradisional harus diproduksi dengan menerapkan Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) sebagaimana telah diterbitkan oleh
BPOM Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012.
Menurut
cara penggunaannya, minyak obat tradisonal dibagi menjadi 2 yaitu:
1)
Obat luar yang digunakan dengan cara dioles,gosok atau
urut; dan
2)
Obat dalam yang digunakan dengan cara diminum. Tergantung
tujuannya, ada minyak Sumbawa yang diminum tanpa campuran artinya hanya
minyaknya saja, dan ada pula yang diminum dengan dicampur bersama bahan-bahan
yang lain.
Terkait dengan instruksi penggunaan, meskipun minyak obat tradisonal ini
sebagaimana telah berlaku secara umum di masyarakat dapat digunakan sebagai
obat luar dengan cara oles, urut dan gosok dan obat dalam dengan cara diminum,
namun BPOM tidak merekomendasikannya untuk diminum karena belum ada bukti
ilmiah/pra-klinik yang dapat menjamin indikasi khasiat dan keamanan konsumen
yang meminumnya (Wibisono, 2019).
Kondisi ini berimplikasi pada pelabelan. Pada penulisan keterangan
label, minyak obat tradisional hanya boleh mencantumkan keguanaan sebagai obat
luar, minyak urut, minyak gosok atau minyak oles. Untuk dapat digunakan sebagai
obat dalam yang dapat diminum, minyak obat tradisioanl harus melampaui
serangkaian uji pra-klinis/klinis dengan kriteria izin UKOT yang hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha yang
memiliki izin usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menjadikan Tradisi sebagai Kegiatan Ekonomi Produktif UMKM
Berbagai standar penerbitan izin produksi dan izin edar yang ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan ini belum mampu dipenuhi oleh sanro/tabib pelaku
usaha pembuat minyak obat tradisional, sehingga izin yang dapat diterbitkan
hanya sebatas izin UMOT. Di samping itu, kebanyakan sanro/tabib pelaku usaha pembuat
minyak obat tradisional memiliki kapasitas modal dan dan hasil penjualan yang
masih terbatas.
Sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 20 tahun
2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) yang mengelompokkan
UMKM berdasarkan kekayaan
bersih dan hasil penjualan
tahunan, kebanyakan usaha pembuatan minyak obat tradisonal memang masih dalam kriteria
usaha mikro yaitu
usaha produktif milik orang
perorangan atau badan usaha
milik perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
dengan hasil penjualan
tahunan paling banyak Rp
300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah).
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesempatan,
kemampuan, dan perlindungan usaha mikro, perlu ditetapkan berbagai kebijakan
tentang pencadangan usaha, pendanaan, dan pengembangannya secara optimal.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, usaha mikro obat tradisional perlu
diberdayakan dengan cara penumbuhan iklim usaha yang mendukung disertai dengan pengembangan
dan pembinaan secara intensif.
Sebagai
upaya untuk meningkatkan kemampuan dan peran serta kelembagaan UMOT, maka
pemberdayaan tersebut perlu dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Dunia Usaha, dan masyarakat secara menyeluruh, sinergis, dan berkesinambungan.
Dalam
hal ini, keberadaan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM yang di Kabupaten
Sumbawa Barat didukung penuh dengan diterbitkannya Peraturan Bupati Sumbawa
Barat Nomor 2 tahun 2019 tentang Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah dan
Koperasi di Kabupaten Sumbawa Barat atau dikenal dengan Aksi Bela dan Beli
Produk Kabupaten Sumbawa Barat perlu dioptimalkan pada aras implementasinya.
Dengan demikian maka tradisi membuat Minyak Jereweh dan Festival Melala dapat memberikan dampak ekonomi bagi para sanro/tabib, menjadi ikon produk unggulan masyarakat dan tentu dapat mewujudkan tujuan pemberdayaan UMKM untuk
menumbuhkan dan mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah dalam rangka
perluasankesempatan kerja, peluang berusaha, peningkatan kesejahteraan sosial
ekonomi masyarakat, dan mendukung pembangunan ekonomi nasional berdasarkan
demokrasi ekonomi yang berkeadilan dapat segera terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar