Lebo Taliwang memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting pada masa lalu, sekarang dan masa akan datang bagi kehidupan sekitarnya. Lebo Taliwang merupakan tempat usaha penangkapan dan budidaya ikan dimana sebagian masyarakat Desa Meraran, Desa Ai Suning, Desa Rempe, Desa Seran, Desa Seloto, dan Kelurahan Sampir selama bertahun-tahun menggantungkan hidup dari hasil menangkap ikan air tawar di Lebo Taliwang. Mereka menangkap beberapa jenis ikan air tawar yang hidup di perairan di antaranya mujair, sepat, nila, betok, gabus, sidat dan belut. Selain untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga, hasil tangkapan juga dijual sebagai sumber pendapatan.
Selain itu, Lebo Taliwang juga merupakan sumber pangan. Berbagai jenis teratai yang tumbuh di Lebo Taliwang telah dimanfaatkan bagian-bagiannya oleh masyarakat sekitar sebagai pangan alternatif. Dalam buah teratai terdapat biji-biji yang berbentuk bulat seperti kacang tanah yang bisa dikonsumsi dan dikenal mempunyai berbagai khasiat untuk mengobati berbagai penyakit seperti diare, disentri, keputihan, demam, susah tidur, hipertensi, muntah darah, mimisan, batuk darah, sakit jantung, beri-beri, sakit kepala, berak dan kencing darah, anemia, dan ejakulasi. Sedangkan rimpang yang menjalar di dasar perairan mengandung tepung dan sering diambil masyarakat untuk diolah menjadi bubur yang juga berkhasiat sama seperti biji-biji buahnya.
Masyarakat sekitar juga memanfaatkan Lebo Taliwang sebagai tempat rekreasi memancing. Selain menghibur, memancing juga juga menghasilkan ikan. Banyak orang yang datang memancing ke Lebo Taliwang untuk mengisi waktu luang atau sebagai kegiatan di hari libur bekerja untuk menghilangkan kejenuhan. Saat ini, Lebo Taliwang juga sedangkan dikembangkan sebagai salah satu alternatif tujuan wisata lokal bagi masyarakat.
Lahan di sekitar Lebo Taliwang merupakan lahan basah yang kaya akan unsur hara sehingga sangat baik untuk pertanian. Sedimentasi di daerah sempadan Lebo telah diubah oleh masyarakat pemilik lahan sekitarnya sebagai areal pertanian. Selain itu, satu usaha penyulingan air mineral beroperasi di sekitarnya untuk diperdagangkan dalam bentuk air kemasan.
Berbagai fungsi dan manfaat Lebo Taliwang yang selama ini dinikmati oleh masyarakat sekitarnya itu, saat ini tengah mengalami ancaman serius. Berbagai aliran air baik itu sungai maupun aliran air permukaan yang bermuara ke Lebo Taliwang disinyalir mengandung logam berat yang berbahaya bagi keberlangsungan ekosistem Lebo Taliwang. Bagaimana tidak terancam? Di sekitar Lebo Taliwang, saat ini terdapat ratusan mesin gelondong (tromol) yang beroperasi tanpa mempertimbangkan keselamatan lingkungan.
Tambang Rakyat di Sekitar Lebo Taliwang
Usaha pertambangan emas secara tradisional di Sumbawa Barat sudah berlangsung sejak lama. Paling tidak sejak Tahun 1990 telah dimulai penambangan emas oleh warga yang rata-rata berasal dari Tasikmalaya di Desa Lamuntet Kecamatan Brang Rea. Sedangkan penambangan di wilayah sekitar Lebo Taliwang baru berlangsung sejak awal Tahun 2011 lalu. Penambangan ini dimulai setelah penemuan urat-urat kuarsa mengandung emas di Bukit Pakirum Kelurahan Sampir Kecamatan Taliwang dan sekitarnya oleh penambang emas tradisional.
Sejak saat itu, Bukit Pakirum ramai didatangi penambang yang berasal dari luar Kabupaten Sumbawa Barat. Harian Gaung NTB Edisi 31 Januari 2011 memberitakan bahwa dalam tempo kurang dari dua minggu, Bukit Pakirum berhasil menyedot ribuan penambang. Tidak hanya penambang lokal, penambang dari Pulau Lombok, Sumbawa, Jawa, bahkan dari Manado Sulawesi Utara, tumpah ruah di kawasan yang masuk dalam areal hutan lindung itu. Para penambang dari luar daerah itu umumnya tergiur dengan kabar mengenai kandungan emas di batuan dan kadar emas Bukit Pakirum yang tergolong tinggi. Belum lagi lokasi yang relatif mudah dijangkau karena dekat jalan raya dan kondisi lubang yang relatif aman (kedalaman lubang hanya berkisar antara 1,5 s/d 2 meter dan lubang terdalam sekitar 5 meter).
Selain terjun langsung sebagai penambang, para pendatang juga rata-rata membawa serta alat gelondongan. Dari puluhan titik gelondongan (ribuan mata) yang beroperasi mulai dari sekitar Desa Meraran Kecamatan Seteluk sampai jalur sepanjang Lebo Taliwang sebagian besar di antaranya merupakan milik pendatang. Bisnis gelondongan, selain aktifitas penambangan emas, menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Banyaknya jumlah penambang, menjadikan bisnis penyewaan jasa gelondong menjadi sumber pendapatan yang sangat menggiurkan. Satu gelondongan yang umumnya terdiri dari puluhan mata per unit itu, beroperasi hampir 24 jam sehari. Untuk satu karung batuan, pemilik memasang tarif Rp 25,000 s/d Rp 30,000.
Selain di Bukit Pakirum, lokasi penambangan juga terdapat di Lamunga (wilayah Desa Batu Putih Kecamatan Taliwang). Gaung NTB Edisi 1 Februari 2011 memberitakan bahwa penambangan di Desa Batu Putih telah lebih dulu bergeliat sebelum Bukit Pakirum. Diduga para penambang menggunakan peta PT Indotan dalam menentukan titik lokasi penambangannya.
Dugaan ini diungkapkan anggota Komisi III DPRD Kabupaten Sumbawa Barat Kaharuddin Umar. Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mengungkapkan bahwa dari hasil penelusurannya, di wilayah Lamunga banyak warga yang melakukan penambangan secara tradisional menggunakan istilah teknik pemetaan geologi pertambangan dalam menyebutkan lokasi penggaliannya.
Kaharuddin Umar bahkan mengaku, pernah melihat langsung peta yang digunakan warga dalam menetukan lokasi penggalian. Dalam peta secara jelas terlihat bahwa lembaran yang memuat data pemetaan geologi wilayah Lamunga itu menggunakan kop PT Indotan yaitu salah satu investor tambang yang tengah melakukan ekplorasi di wilayah Lamunga. Wilayah Lamungan termasuk sebagai bagian wilayah konsesi PT Indotan.
Selain di Desa Lamuntet, Bukit Pakirum dan Lamunga, penambangan juga berlangsung Desa Moteng Kecamatan Brang Rea, Balisung Desa Menemeng Kecamatan Brang Ene, Lang Tanyong, dan Lang Eler Kelurahan Sampir dan Desa Seloto Kecamatan Taliwang.
Teknik Pertambangan Tradisional
Pada semua lokasi penambangan mulai dari Lamuntet, Moteng, Balisung, Lang Tanyong, Lang Eler, Pakirum, Lamunga hingga Desa Seloto di Kabupaten Sumbawa Barat dilakukan dengan sistem tambang bawah tanah dengan cara membuat terowongan dan sumur. Teknik penambangan dilakukan tanpa perencanaan yang baik dan dengan cara penggalian mengikuti arah urat kuarsa yang diperkirakan memiliki kadar emas cukup tinggi.
Kegiatan penambangan emas secara tradisional oleh masyarakat inipun masih menggunakan teknik eksploitasi yang sederhana. Penambangan batuan memakai peralatan sederhana seperti cangkul, linggis, ganco, palu dan beberapa alat sederhana lainnya.
Batuan dan urat kuarsa mengandung emas atau bijih hasil penambangan dimasukkan ke dalam karung berukuran kantong semen. Selanjutnya bijih hasil penambangan tersebut ditumbuk dengan menggunakan palu hingga berukuran 1-2 cm. Batuan dan urat kuarsa hasil tumbukan selanjutnya digiling dengan alat gelondong (tromol yang berukuran panjang 55-60 cm dan diameter 30 cm dengan alat penggiling 3-5 batang besi). Bijih seberat 5-10 kg dimasukkan ke dalam gelondong dan diputar selama 2-3 jam. Setelah itu, gelondong dibuka dan besi penggilingan dikeluarkan dan hanya disisakan 1 batang saja di dalam gelondong. Selanjutnya, merkuri dituangkan ke dalam gelondong, ditutup yang rapat dan gelondong diputar kembali selama 30 menit. Proses ini disebut dengan teknik amalgamasi.
Setelah proses amalgamasi selesai, amalgam dipisahkan dari ampasnya (tailing) dengan cara diperas (dipijit) dengan kain parasit dan tailing dialirkan ke dalam bak penampungan atau dibiarkan mengalir ke halaman rumah dan adapula pemilik gelondong yang mengalirkan material tailing langsung ke dalam sungai. Pembuangan tailing secara langsung ini tentu saja dapat mempercepat kontaminasi merkuri di sungai.
Proses pemisahan emas dari amalgam dilakukan dengan cara pengomporan yang sederhana tanpa mempertimbangkan kualitas kesehatan dan lingkungan kerja. Amalgam dimasukkan ke dalam mangkok keramik, ditambahkan boraks dan langsung dibakar pada suhu 300-400 °C sampai menghasilkan bullion. Proses ini dilakukan di ruangan terbuka sehingga merkuri akan langsung menguap dan mengkontaminasi udara di sekitarnya.
Khusus bagi material tailing yang ditampung di dalam bak penampungan, bila telah memenuhi bak penampungan, diisi kembali ke dalam karung untuk dijual kepada pengusaha atau masyarakat yang berminat untuk diproses ulang dengan menggunakan tong. Cara ini juga tidak menjamin adanya keamanan bagi lingkungan, sebab pada saat musim hujan, air hujan memenuhi seluruh permukaan tanah dan air permukaan ini mengalir menuju ke sungai dengan membawa sebagian material tailing yang telah bercampur merkuri. Selain itu, pada musim hujan, sebagian sungai mengalami banjir dan dalam keadaan demikian memungkinkan penyebaran merkuri lebih luas, sehingga kontaminasi merkuri dalam air dan sedimen sungai akan membawa dampak lebih besar, terutama jika unsur-unsur berbahaya tersebut diserap oleh tanaman air dan ikan air tawar yang merupakan bagian dari rantai makanan yang akhirnya menjadi konsumsi masyarakat.
Merkuri Meracuni Lebo Taliwang
Pengolahan bijih emas dengan teknik amalgamasi dengan menggunakan mesin gelondong umumnya dilakukan di lahan-lahan kosong milik warga setempat baik itu di tegalan, halaman rumah, pada lahan sawah dan pinggir sungai. Operasional mesin gelondong tersebar di berbagai desa di Kabupaten Sumbawa Barat terutama di Kecamatan Brang Rea, Taliwang dan Seteluk.
Ketiga kecamatan ini merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dengan keberadaan Lebo Taliwang karena perairan dan wilayah hutannya masih berada dalam satu-kesatuan Daerah Aliran Sungai yaitu DAS Rea. Sungai dari Kecamatan Seteluk sepenuhnya bermuara di Lebo Taliwang . Begitupula halnya dengan aliran air permukaan dari seluruh desa di Kecamatan Seteluk, semuanya bermuara ke Lebo Taliwang. Sedangkan Sungai dari Kecamatan Brang Rea dan Taliwang bila mengalami kelebihan debit pada saat banjir terjadi, maka air banjir kiriman akan menuju ke Lebo Taliwang. Sementara itu, air permukaan dari sebagian Bukit Lamunga, Pakirum dan Seloto juga mengalir ke Lebo Taliwang .
Oleh karena itu, pada muism hujan, air permukaan akan membawa limbah bercampur material tailing yang telah terkontaminasi merkuri dari Desa Seteluk Atas, Seteluk Atas, Tapir, Ai Suning, Rempe, Orong Sampir (Desa Seran), Orong Bawa, Meraran, Kelanir Kecamatan Seteluk dimana terdapat ratusan unit mesin gelondong beroperasi akan mengalir bebas menuju ke Lebo Taliwang. Begitu pula dengan air permukaan dan aliran sungai dari Seloto, Bangkat Monteh, Tepas, Moteng, Sepakat, Sapugara, Kejawat, Tamekan, Sermong yang posisinya lebih hulu dari Sungai Taliwang juga akan membawa serta limbah bercampur tailing yang telah terkontaminasi merkuri juga menuju Sungai Taliwang dan tidak menutup kemungkinan bila terjadi banjir akan memasuki areal Lebo Taliwang.
Sebagaimana dirilis oleh MinergyNews.com pada 12 Oktober 2005, sesuai hasil penyelidikan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL) Surabaya, sedimen Sungai Taliwang sudah berada di atas ambang batas toleransi kandungan merkuri karena sudah mencapai 1,139 Ng/Kg. Sementara ambang batasnya hanya 0,01 – 0,5. Sedangkan air Sungai Taliwang masih di bawah ambang batas, yaitu 0,002. Kondisi ini cukup memprihatinkan. Jika pada Tahun 2005 Sungai Taliwang telah mengandung 0,002 merkuri, tentu kondisi saat ini akan lebih parah sebab saat ini pengolahan bijih emas dengan teknik amalgamasi telah meluas tanpa kendali di masyarakat.
Bila Lebo Taliwang tercemar merkuri, bukan hanya akan membahayakan komunitas biota yang hidup dalam perairan danau saja, tetapi juga akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi ikan yang berasal dari hasil tangkapan di Lebo Taliwang. Hal ini karena sifat logam berat yang persisten pada lingkungan, bersifat toksik pada konsentrasi tinggi dan cenderung terakumulasi pada biota. Senyawa metil merkuri yang merupakan hasil dari limbah pengolahan bijih emas masuk ke dalam rantai makanan, terakumulasi pada ikan dan biota danau. Oleh karena itu manusia akan mengalami keracunan jika memakan ikan dan biota perairan Lebo Taliwang yang tercemar merkuri tersebut.
Tentu saja, kita tidak menghendaki masyarakat sekitar Lebo Taliwang dan masyarakat Sumbawa Barat pada umunya mengalami musibah sebagaimana yang telah dialami penduduk Teluk Minamata. Banyak kalangan mengetahui bagimana kasus penyakit Minamata telah dialami oleh penduduk Jepang pasca Perang Dunia ke-2. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa penduduk di sekitar kawasan Teluk Minamata mengalami cacat seumur hidup, gejala keanehan mental dan cacat syaraf mulai tampak terutama pada anak-anak, dan korban meninggal dunia lebih kurang 100 orang pada tahun 1953 sampai 1960 setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung merkuri yang berasal dari buangan sisa industri plastik.
Meskipun belum terdapat hasil penelitian yang menyatakan bahwa Lebo Taliwang telah tercemar merkuri, namun dapat dipastikan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, sedimen dan perairan Lebo Taliwang akan tercemar merkuri apabila Pemerintah Daerah tidak mengambil tindakan penertiban terhadap operasionalisasi mesin gelondong yang menerapkan teknik amalgamasi. Ini akan merupakan ancaman yang serius bagi kelanjutan ekosisten Lebo Taliwang.
Bahaya Merkuri bagi Manusia dan Lingkungannya
Lingkungan yang terkontaminasi oleh merkuri dapat membahayakan kehidupan manusia karena adanya rantai makanan. Merkuri terakumulasi dalam mikro-organisme yang hidup di air (sungai, danau, laut) melalui proses metabolisme. Bahan-bahan yang mengandung merkuri yang terbuang ke dalam sungai, danau atau laut dimakan oleh mikro-organisme tersebut dan secara kimiawi terubah menjadi senyawa metil-merkuri. Mikro-organisme dimakan ikan sehingga metil merkuri terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan. Ikan kecil menjadi rantai makanan ikan besar dan akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Oleh karenanya, usaha pengolahan emas dengan menggunakan merkuri seharusnya tidak membuang limbahnya (tailing) ke dalam aliran sungai sehingga tidak terjadi kontaminasi merkuri pada lingkungan di sekitarnya, dan tailing yang mengandung merkuri harus ditempatkan secara khusus dan ditangani secara hati-hati.
Merkuri adalah suatu senyawa kimiawi toksik yang menjadi perhatian global karena menimbulkan bahaya yang signifikan terhadap kesehatan manusia, satwa dan ekosistem. Ketika dilepas ke lingkungan, merkuri bergerak mengikuti aliran udara dan jatuh kembali ke bumi. Merkuri dapat meresap melalui tanah lalu bergerak ke saluran-saluran, sungai-sungai, danau-danau dan samudra serta dapat berpindah mengikuti arus laut dan hewan-hewan yang bermigrasi.
Ketika memasuki lingkungan akuatik, merkuri dapat ditransformasi oleh mikro-organisma menjadi senyawa yang lebih toksik, metil merkuri. Dalam bentuk metil merkuri, merkuri memasuki rantai makanan, terakumulasi dan terkonsentrasikan, dimulai dari organisme akuatik termasuk ikan dan kerang, lalu pada burung, mamalia, dan manusia yang berada di ujung akhir rantai makanan.
Merkuri, terutama dalam bentuk metil merkuri, sangat beracun untuk manusia. Embrio manusia, janin, balita, dan anak-anak sangat rentan karena merkuri mengganggu perkembangan syaraf. Ketika seorang ibu hamil atau seorang wanita dalam usia produktif memakan makanan yang terkontaminasi dengan metil merkuri, zat beracun mengalir melalui plasenta dan terpapar ke janin. Studi menunjukkan bahwa konsentrasi metil merkuri dalam janin lebih tinggi dibandingkan konsentrasi di dalam tubuh sang ibu. Merkuri juga terdapat di dalam air susu ibu (ASI) yang akan dikonsumsi oleh balita pada awal pertumbuhan 2 tahun pertama mereka. Anak-anak yang memakan makanan yang terkontaminasi merkuri pada tahun-tahun pertama juga akan terpengaruh. Merkuri mempengaruhi dan merugikan perkembangan otak serta perkembangan system syaraf anak. Merkuri dapat mengurangi kemampuan kognitif dan berpikir, memori, perhatian, penguasaan bahasa, keterampilan motorik halus dan keterampilan ruang visual.
Orang dewasa juga dibahayakan oleh resiko merkuri. Kelompok manusia yang memiliki resiko paling tinggi adalah orang-orang miskin dan yang paling rentan adalah masyarakat yang mendapat asupan protein dari ikan dan makanan yang mengandung merkuri. Para pekerja juga memiliki resiko yang tinggi, terutama penambang emas tradisional dan keluarga mereka. Selain itu merkuri juga membahayakan organisme-organisme yang ada di lingkungan dan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Peran Pemerintah dan Para Pihak
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Dinas Kesehatan dan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sumbawa Barat perlu melakukan penertiban dan pemantauan secara berkesinambungan terhadap aktivitas pengolahan bijih emas yang menggunakan merkuri. Selain itu, perlu dilakukan penyuluhan kesehatan kerja terpadu secara terus-menerus dengan materi bahaya merkuri bagi kesehatan dan penatalaksanaan kegiatan penambangan emas tanpa izin, misalnya dengan sosialisasi tentang bahaya penggunaan merkuri, melakukan pertemuan dengan pimpinan masyarakat penambang untuk menyampaikan informasi mengenai teknologi penambangan emas yang ramah lingkungan.
Pemerintah juga perlu membantu para penambang dan memberikan jalan keluar agar penambangan dapat dilakukan secara ramah lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan masyarakat dan penambang sendiri yaitu dengan memberikan subisidi kepada penambang dengan menyediakan lokasi khusus (relokasi) secara terpusat untuk pengolahan bijih, menyediakan tempat penampungan limbah merkuri yang sudah digunakan agar limbah tidak langsung dibuang ke sungai tetapi dapat dicari jalan keluar dengan meningkatkan kembali kemampuan merkuri dalam memisahkan emas sehingga dapat dimanfaatkan kembali dalam proses pengolahan bijih emas selanjutnya.
Bagi para penambang diharapkan kesadarannya dalam upaya mengurangi dampak bahaya merkuri yaitu dengan lebih memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja dan lingkungan dalam proses penambangan emas dan pengolahan bijih.
Masyarakat diharapkan partisipasinya dalam upaya mengurangi dampak dari pemaparan yang mengakibatkan keracunan merkuri dengan pola hidup bersih dan sehat serta tidak memberikan kesempatan penggunaan lahan sebagai lokasi pengolahan bijih dengan teknik amalgamasi selain pada lokasi yang diizinkan oleh Pemerintah Daerah.
Manakala penertiban dan pengendalian terhadap pertambangan liar dan operasional gelondong tidak bisa dilakukan, maka sesungguhnya kita tengah mewariskan lingkungan yang rusak kepada generasi mendatang. Pertambangan liar dan penggunaan merkuri dalam pengolahan bijih emas yang merusak dan mencemari lingkungan, keduanya merupakan bencana yang mengancam keberadaan ekosistem Lebo Taliwang, masyarakat sekitarnya dan Sumbawa Barat seluruhnya.
DPRD sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dalam membentuk peraturan daerah diharapkan peka membaca potensi permasalahan dan benih konflik yang akan ditimbulkan sebagai akibat penambangan liar dan pencemaran lingkungan. DPRD dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat harus segera menerbitkan peraturan daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan pertambangan rakyat dan penggunaan logam berat merkuri sehingga tidak menjadi permasalahan yang mengancam keselamatan lingkungan dan makhluk hidup yang mendiaminya di masa yang akan datang.
tanks untuk artikelnya,semoga bermanfaat."karbon aktif"
BalasHapus